Oleh: Edi Sulistyo (Ketua Gerakan Literasi Terbit Regional Surabaya)
Kebenaran yang tidak terorganisir, bisa dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir, demikian ungkapan populer Ali bin Abi Talib. Kalimat ini tepat dalam menggambarkan fenomena radikalisme saat ini. Radikalisme sebagai representasi dari kebatilan bisa mengalahkan kedamaian sebagai perwujudan dari kebenaran.
Merupakan sebuah fakta, bahwa orang-orang radikal itu sejatinya hanya segelintir orang, tetapi mereka terorganisir. Sedikit, tetapi kompak. Sebaliknya, pihak yang mendambakan perdamaian berada dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak bisa berjamaah. Mayoritas, tetapi diam.
Gemerlap kamajuan informasi dan teknologi ditambah penetrasi dari media sosial membuat manusia bisa mencukupi dirinya sendiri. Apa-apa yang diinginkannya tinggal klik, sudah tersedia di depan mata.
Efek paling nyata adalah pudarnya budaya gotong royong di tengah-tengah masyarakat. Budaya gotong royong adalah sendi dari kehidupan dalam mewujudkan kenyamanan dan kedamaian.
Di lain pihak, tumbuhnya keegoisan di tengah mayarakat ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membuat teror dan menciptakan dis-harmoni.
Keegoisan ini bisa dilihat dari adanya anggapan bahwa tugas memberantas dan mencegah terorisme hanya tugas pemerintah saja. Atau ada sikap yang masih bersimpati terhadap mereka yang didakwa sebagai terorisme.
Akar Radikalisme
Akar dari radikalisme yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan aksi terorisme adalah sikap intoleransi. Sikap intoleransi secara sederhana adalah sikap yang tidak mau menghargai pendapat, pemahaman, keyakinan orang lain. Entitas apapun yang berasal dari lisan tidak dihargai dan sekuat tenaga ditolak.
Sikap seperti ini menjadikan seseorang jadi eksklusif, menutup diri, dan menegasikan yang lain. Intoleransi pada akhirnya menjadikan seseorang tidak mempercayai orang lain, dan kebenaran sejati hanya pada “aku atau kelompok-ku”.
Mengapa seseorang bisa bersikap intoleran? Jawabannya tentu banyak. Akan tetapi, dari sekian faktor itu, agama menjadi salah satu penyebab yang rentan dijadikan alasan
Kita tidak bisa mengatakan, bahwa hanya agama sematalah yang menyebabkan seseorang terkena virus radikalisme. Agama hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Menuju Toleransi
Nilai ke-Indonesia-an yang toleran, welas asih, dan guyub, menjadi modal yang sangat pas dalam menangkal sikap intoleransi.
Dengan demikian, melawan radikalisme perlu dari akarnya, yaitu mencegah sikap intoleransi dengan cara-cara mengakar tentunya. Cara-cara mengakar itu lebih mengutamakan pencegahan yang berbasis pada lintas disiplin, pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan dari semua kalangan.
Sikap toleransi sudah tertanam di hati masyarakat Indonesia dengan beragam budaya dan dibangun oleh sejarah pluralisme. Hanya butuh semangat kebersamaan untuk memantik api toleransi dan semangat kebangsaan di sanubari masyarakat Nusantara.
Maka dari itu menangkal radikalisme harus dilakukan secara bersama-sama antar elemen warganet dan masyarakat. Menangkal virus radikalisme membutuhkan kerja kolektif dengan jiwa gotong-royong dan semangat Bhinneka Tunggal Ika menciptakan toleransi dan nasionalisme serta optimisme terhadap bangsa dan negara.
Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat dalam melawan penyebaran narkoba yang merusak generasi bangsa.…
Jakarta - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmen kuatnya dalam memberantas peredaran narkoba di…
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, UMKM menjadi salah satu pilar utama dalam upaya percepatan…
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…
Presiden Prabowo Subianto terus mengokohkan posisi Indonesia dalam ekonomi global melalui diplomasi ekonomi yang…