Buruh dan DPR Sepakat Mendukung Omnibus Law Cipta Kerja

Oleh : Edi Jatmiko

Omnibus Law RUU Ciptakerja yang sebelumnya mendapat pertentangan kini mulai mendapatkan titik terang. Meredanya pertentangan tersebut ditandai dengan adanya kesepahaman antara DPR dan Buruh tentang sejumlah pasal di RUU Ciptaker.

Omnibus law Ciptaker khususnya cluster cipta kerja sempat berada pada perdebatan yang cukup pelik, namun akhirnya kabar baik-pun terdengar dengan adanya titik temu antara tim perumus yang terdiri dari serikat buruh dan DPR terkait pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja. Hal tersebut juga mendapatkan apresiasi dari sejumlah pihak.

Baca Juga

Salah satunya adalah Jajat Nurjaman yang merupakan Direktur Eksekutif Nurjaman Center Indonesia Demokrasi (NCID), dirinya mengapresiasi bahwa langkah DPR yang menerima masukan dari serikat Buruh terkait RUU Cipta Kerja adalah satu langkah maju dalam pembahasan payung hukum sapu jagat tersebut.

Baca juga: Gerakan Politik KAMI Mengganggu Penanganan Covid-19

Dengan adanya ruang dialog yang sehat, Jajat merasa optimis akan lahirnya kesepakatan day dapat menguntungkan kedua belah pihak. Sehingga UU yang akan lahir dapat memberikan manfaat bagi masyarkat.

Jajat mengatakan, pentingnya mengedepankan azas kemanfaatan dalam sebuah aturan sehingga bisa menumbuhkan rasa keadilan di masyarakat. Adil dalam konteks ini bukan dimaknai untuk kepentingan sekelompok, namun keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.

Ia mengatakan, DPR sebagai wakil rakyat haruslah memberikan jaminan terhadap pihak yang mereka wakili. Berbagai masukan dari serikat Buruh terkati RUU Cipta Kerja yang telah diakomodir diharapkan bisa membawa dampak positif terhadap proses pembahasan RUU Cipta Kerja.

Sementara itu, Komite Tetap Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bob Azam mengatakan, kesepahaman antara buruh dan DPR merupakan suatu proses penyerapan aspirasi masyarakat dalam pembahasan suatu undang-undang.

Hasil kesepahaman ini bahkan dinilai Bob akan mempercepat pembahasan RUU Cipta Kerja.
Bob mengatakan, kesepahaman ini wajar sebagai penjaringan kelompok masyarakat sebagai aspirasi dalam pembentukan undang-undang.

Ia mengatakan, proses menyerap aspirasi masyarakat oleh DPR tidak hanya dilakukan bersama serikat buruh.

Pengumpulan aspirasi juga dilakukan pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan bersama Unsur pengusaha dan unsur buruh melalui tim tripartit yang telah dilakukan beberapa waktu lalu.

Bob juga mengatakan bahwa saat ini memang perlu dilakukan transformasi atas undang-undang ketenagakerjaan sehingga bisa menciptakan lapangan kerja sebagai upaya merealisasikan cita-cita proklamasi yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hal ini dilakukan agar sektor ketenagakerjaan dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Dengan adanya ruang dialog tersebut, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Ristadi mengatakan bahwa selama ini perlu ada pelurusan terhadap persepsi yang menyatakan bahwa serikat buruh atau serikat pekerja menolak total RUU Cipta Kerja.

Ristadi menegaskan, bahwa selama ini tidak ada serikat pekerja atau serikat buruh yang tidak setuju perizinan investasi dipermudah, pemangkasan birokrasi, serta biaya perizinan usaha yang rendah dan berkepastian waktu permohonan perizinan.

Dirinya mengatakan dalam cluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja juga terdapat klausul yang tidak pernah diungkap ke publik. Yakni terdapat tiga klausul baru yang didalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 belum diatur.

Tiga klausul baru dalam RUU Cipta Kerja tersebut adalah, uang kompensasi untuk pekerja kontrak atau PWKT, Jaminan kehilangan pekerjaan dan adanya penghargaan yang diberikan kepada pekerja dengan masa kerja 3 – 6 tahun selama dia masih tetap bekerja.

Ristadi juga mengungkapkan fakta tentang kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, bahwa saat ini yang didapat KSPN dari hasil 23 kota Kabupaten Industri di Pulau Jawa.

Menurut data KSPN, hingga saat ini tidak ada satupun perusahaan di Indonesia yang 100 % melaksanakan norma kerja. Sehingga banyak pekerja yang sudah mencapai masa kerja 10 tahun tapi status nya masih karyawan kontrak, padahal dalam UU Ketenagakerjaan yang sekaran berlaku, pekerja kontrak itu batas waktunya maksimal hanya 3 tahun.

Ia juga mengakui bahwa pada saat ini, fenomena pekerja kontrak semakin masif yang diakui pihaknya tidak bisa dibendung.
Selain itu, masih ada juga perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum, seperti daerah-daerah pinggiran utamanya di sektor padat karya.

Dengan adanya omnibus law cipta kerja, tentu saja perlindungan dan kesejahteraan bisa meningkat. Selain itu omnibus law juga menjadi jaminan kesejahteraan agar ketika investasi tumbuh ekonomi juga tumbuh namun tidak mengabaikan kesejahteraan pekerja.

Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia

Related Posts

Add New Playlist