Visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) lima tahun ke depan adalah fokus pada sumber daya manusia (SDM). Visi seperti itu sangat membutuhkan stabilitas situasi politik. Lembaga negara yang menjadi garda terdepan dalam memastikan stabilitas politik nasional adalah Badan Intelijen Negara (BIN)
“BIN secara senyap berhasil mengawal pemilu presiden secara damai dan lancar. Bahkan, Kepala BIN Jenderal (Purn) Budi Gunawan berhasil membawa situasi sejuk dan damai dengan mempertemukan Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi di stasiun MRT Lebakbulus. Pertemuan itu membuka pintu rekonsiliasi nasional, bahkan kita tahu bersama Prabowo lantas menjadi menteri pertahanan,” kata pengamat intelijen Ridlwan Habib di Jakarta, Sabtu (30/11/2019).
Dikatakan, kredo intelijen adalah operasi senyap, yang berarti erhasil tidak dipuji, mati tidak dicari, sudah menjadi bagian dari identitas tugas yang tak terpisahkan dari insan intelijen. Kepala BIN Budi Gunawan juga seperti itu, sangat jarang muncul di televisi atau media, apalagi mengklaim keberhasilan. Menurut Ridlwan, hal seperti itu memang tabu bagi insan intelijen.
Baca Juga
Menurut dia, filosofi lembaga intelijen harus loyal pada satu institusi (single user), yakni presiden. Oleh karena itu, ujarnya, Kepala BIN wajib hanya melapor kepada Presiden Jokowi secara langsung dan tidak boleh dipublikasikan media. Komunikasi intim dan personal antara Kepala BIN dan Presiden tidak perlu diketahui publik alias cukup Presiden yang tahu.
“Karena itu, wajar jika dalam Kabinet Indonesia Maju, Presiden Jokowi tetap mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN. Itu artinya user puas dan percaya dengan BIN. Ini fakta yang nyata dan tak terbantahkan,” ujar Ridlwan.
Upaya senyap dan profesional BIN, kata dia, sangat dibutuhkan selama lima tahun mendatang. Visi Presiden Jokowi sangat menekankan pentingnya stabilitas situasi keamanan dan stabilitas politik. Itu membutuhkan pimpinan atau kepala BIN yang sudah teruji dan profesional. Menurut Ridlwan, BG sudah membuktikannya selama 5 tahun ini.
BG, ujarnya, dekat dengan semua pemangku kepentingan dan ranah kepentingan nasional. BG, misalnya, juga menjabat sebagai pengurus Dewan Masjid Indonesia yang sangat diterima di berbagai ormas Islam dan pondok pesantren. Latar belakangnya sebagai polisi yang memulai karir dari bawah membuat BG mudah mengakses berbagai lapisan strata sosial masyarakat.
“Sebagai sebuah lembaga yang sangat strategis, BIN tidak boleh dipimpin oleh orang yang tidak jelas rekam jejaknya. Apalagi, dipimpin oleh orang yang haus dan menginginkan jabatan. Keputusan Presiden Jokowi mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kepala BIN sudah tepat, mengingat pengalaman, dan prediksi ancaman lima tahun ke depan,” kata Ridlwan.
Namun, kata Ridlwan, BIN juga harus terus berbenah, terutama dalam menghadapi tantangan di era milenial dan serba digital, di mana informasi berseliweran begitu cepat. Diperlukan sistem baru yang memastikan informasi akurat yang diterima pimpinan BIN berlangsung cepat, seperti motto BIN, veloz et exactus (benar dan tepat waktu).
Karena itu, kata Ridlwan, tidak ada salahnya jika Kepala BIN menciptakan perangkat operasi dan sistem kendali yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman. Jika Presiden Jokowi mempunyai tujuh staf khusus dari kalangan milenial, maka wajar jika Budi Gunawan merekrut orang orang muda yang cerdas dan pro-NKRI sebagai staf dan mata telinga tambahan untuk merespon jaman yang serba milenial dan digital itu.
“Tantangan Indonesia lima tahun ke depan sangat beragam. Semoga, dengan kendali yang teruji efektif, Badan Intelijen Negara bisa menjamin rasa aman dan damai bagi segenap masyarakat Indonesia,” ujarnya.