Akademisi UGM Sebut Perppu Cipta Kerja Bisa Selamatkan Indonesia dari Krisis
Pakar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Nindyo Pramono mengatakan jika presiden memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan Undang-Undang Cipta Kerja jo Perppu Nomor 2 Tahun 2022 dengan alasan kegentingan.
Menurutnya, hal tersebut merupakan upaya dalam mencegah Indonesia agar tidak terjerumus ke jurang krisis berkepanjangan.
Baca Juga
“Tentang kegentingan memaksa tentu merupakan diskresi (kewenangan penuh) yang menjadi ruang lingkup kewenangan Presiden. Penetapan Perppu diputuskan Presiden, agar Indonesia tidak masuk ke dalam situasi krisis,” jelas Nindyo
Nindyo menilai, hadirnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sangat penting dan bermanfaat bagi kelangsungan kepentingan iklim investasi bagi Indonesia yang selama ini tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Thailand, Vietnam dan Malaysia.
Hal tersebut menurut Nindyo disebabkan karena terganjal prosedur perizinan di Indonesia yang berbelit sehingga menjadi permasalahan yang tidak menarik minat investasi di Tanah Air.
“Secara obyektif, birokrasi perizinan menjadi salah satu hambatan untuk meningkatkan investasi melalui kemudahan berusaha,” ucap Nindyo.
Investor saat ini kerap menuntut beberapa fasilitas sebelum berinvestasi di suatu negara. Nindyo merinci fasilitas tersebut antara lain peraturan perundang-undangan yang konsisten dan menjamin kepastian hukum dalam jangka panjang seperti Perppu Cipta Kerja. Yang kedua, terjamin kemudahan prosedur perizinan sehingga ekonomi biayanya lebih murah dan investor tertarik berinvestasi.
“Ketiga, jaminan terhadap investasi serta proteksi hukum hak kekayaan intelektual (HKI) dan terakhir sarana dan prasarana yang menunjang, antara lain komunikasi, transportasi, perbankan, dan asuransi,” tutur Nindyo
Nindyo juga mengamini jika tindakan presiden dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 merupakan langkah yang tepat. Dia menilai jika urgensi penetapan perppu tersebut tak harus menunggu krisis lebih dahulu.
“Belum lagi jika terulang situasi chaos seperti 1997-1998. Karena saya yakin, jika kita mau berpikir arif dan bijaksana, tentu tak ada satupun anak bangsa yang menghendaki peristiwa 1997-1998 terulang kembali,” kata Nindyo.
Nindyo juga menyinggung perihal beberapa perppu yang sebelumnya diterbitkan sama sekali tidak menjelaskan soal kegentingan memaksa.
Perppu yang dimaksud antara lain Perppu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan UU Kepailitan. Diketahui jika Perppu ini lahir tatkala negara mengalami krisis pada tahun 1997 dan 1998. Yang mana, konteks ‘kegentingan memaksa’ kala itu memiliki urgensi pertimbangan ekonomi. Diketahui kala itu negara tak pernah berada dalam status darurat padahal pemerintah menghabiskan dana talangan senilai Rp600 triliun.
Perppu kedua yang tak memuat kegentingan memaksa yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas. Perppu ketiga yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 41 tahun 1999.
“Tak ada satu pun kalimat yang menyatakan adanya kegentingan memaksa sehingga keluar Perppu ini” tegasnya.
Perppu keempat yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang membatalkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada yang sama sekali tidak menjelaskan adanya kegentingan yang memaksa.
Alasan yang dipakai saat itu, imbuh Nindyo, yakni UU No. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pilkada secara tak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan luas dari rakyat.