Pemerintah Dukung Putusan MK Tentang UU Cipta Kerja
Oleh : Alvin Sasmita
Pemerintah mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Cipta Kerja yang harus direvisi. Perbaikan UU Cipta Kerja ini diharapkan mampu menyempurnakan regulasi tersebut, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan kepada para investor.
Baca Juga
Pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) mendapatkan perintah dari MK untuk melakukan revisi dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak pengucapan putusan. Jika dalam tenggang waktu tersebut pembentuk UU tidak melakukan perbaikan, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional secara permanen.
Dalam amar putusan dinyatakan bahwa pembentukan UU tentang Cipta Kerja Inkonstitusional dengan UUD NRI Tahun 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak pengucapan putusan.
Pemerintah dan DPR akan menghormati, mematuhi, serta berkomitmen untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Ciptaker dengan sebaik-baiknya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly menuturkan bahwa tindak lanjut putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut perlu segera dilakukan oleh Pemerintah.
Perbaikan UU Cipta Kerja ini diharapkan mampu menyempurnakan regulasi tersebut, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan kepada para investor.
Kepastian hukum tersebut juga merujuk bagi pelaksanaan investasi, baik domestik maupun asing yang telah berkomitmen melakukan investasi setelah terbitnya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
Menanggapi hal tersebut Yasonna berujar, sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, pemerintah akan menghormati dan melaksanakan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. UU Cipta Kerja telah dilakukan pengujian formil, pada 25 November 2021. MK menjatuhkan putusan perkara terhadap UU Ciptaker melalu putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020 menggunakan metode Omnibus Law dan memperhatikan muatan serta substansi yang harus diubah dalam UU Cipta Kerja dan mencapai 78 UU.
Hal tersebut meliputi 10 klaster, yakni peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan, perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, pengadaan tanah, kawasan ekonomi, investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional, pelaksanaan administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi.
Dalam kesempatan pembacaan amar putusan, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan, UU Cipta Kerja bertentangan dengan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai atau tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan.
MK juga menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Pada kesempatan berbeda, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria SW Sumardjono mengatakan, MK merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga wajib dipatuhi sebagai kewajiban moral dan hukum dari pemerintah.
Waktu 2 tahun yang diberikan dari MK untuk pemerintah tergolong singkat, sehingga diperlukan Pemerintah berupaya maksimal untuk melakukan perbaikan atau merevisi UU Ciptaker.
Pemerintah akan tetap patuh terhadap apapun putusan MK dan akan mampu merevisi UU Ciptaker sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan. Dengan adanya perbaikan tersebut, maka peraturan tersebut diharapkan lebih optimal dalam meringkas regulasi dan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, sehingga perekonomian rakyat terdampak pandemi kembali dapat berputar dan akan menambah lapangan kerja baru bagi masyarakat.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute