Oleh : Azka Aulia
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diminta untuk hentikan polemik, karena kawan-kawannya yang lolos sudah resmi diangkat menjadi ASN.
Biarlah mereka menjalankan tugasnya sebagai pekerja di lembaga anti rasuah. Tidak ada lagi tuduhan bahwa TWK berkaitan dengan politik, karena yang tak lolos hanya 6%. Sehingga penilaian benar-benar objektif.
Baca Juga
Lembaga antirasuah (KPK) sedang bikin heboh karena para pegawainya diangkat jadi ASN, tetapi masyarakat perlu mengetahui bahwa hal ini sudah menjadi keputusan yang resmi dan punya payung hukum, yakni UU KPK. Memang agak mengejutkan tetapi bukankah KPK adalah lembaga negara? Sehingga wajar saat pekerjanya diangkat sebagai aparatur sipil negara.
Polemik muncul dari 75 orang yang tak lolos tes wawasan kebangsaan, karena hanya 24 orang dari mereka yang mendapat kesempatan kedua untuk menjalani pembinaan pancasila. Sedangkan sisanya diminta untuk mundur teratur, walau boleh bekerja hingga bulan oktober tahun 2021. Ke-51 orang itulah yang emosi dan berpolemik mengenai tes wawasan kebangsaan.
Padahal tes wawasan kebangsaan adalah ujian standar yang dilakukan oleh tiap calon pegawai negeri sipil, dan semua CPNS di lembaga negara, kementrian, kampus negeri, dll wajib menjalaninya.
Apalagi soal tes waasan kebangsaan tidak dibuat oleh petinggi KPK (Firli Bahuri dkk) melainkan lembaga negara lain. Sehingga tak ada unsur subjektivitas dalam tes tersebut.
Pengamat politik Boni Hargens menyatakan bahwa tidak penting lagi melanjutkan polemik mengenai TWK, padahal sudah jelas bahwa penilaian dilakukan oleh asesor yang kompeten di bidangnya. Selain itu, penilaian tes dilakukan oleh lembaga lintas sektor yang melibatkan banyak instansi negara yang relevan.
Polemik harus dihentikan agar pekerja KPK lain yang sudah resmi diangkat jadi pegawai negeri bisa fokus bekerja untuk membantu pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia.
Dikhawatirkan, jika ada polemik berkepanjangan maka akan berpengaruh pada kondisi psikologis mereka dan mempengaruhi mood dalam bekerja. Sehingga akan ada aura negatif di KPK dan tentu akan merugikan semuanya.
Boni melanjutkan, tes wawasan kebangsaan seharusnya dilakukan juga oleh lembaga negara yang lain. Dalam artian, ujian ini penting untuk mengetahui apakah para pegawai itu setia pada negara dan mengimplementasikan pancasila, atau mungkin sudah tercemari oleh pemikiran yang negatif seperti ekstrimis, radikal, separatis, atau sayap kiri.
Sehingga tes ini akan menjadi seleksi ketat bagi calon aparatur sipil negara di tiap lembaga, apakah mereka memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan ideologi negatif atau benar-benar setia pada negara. Jangan sampai ada ASN yang ketahuan tersangkut pada organisasi terlarang atau malah mendukung rasisme dan LGBT, karena pada TWK ada soal yang menanyakan hal-hal tersebut.
Selain itu, pada tes wawasan kebangsaan, semua benar-benar objektif dan tak ada maksud menjegal penyidik tertentu yang beraroma dendam kesumat. Pegawai KPK diminta untuk berpikir jernih dan ketika tidak lolos, akan legowo 100%. Mereka masih boleh bekerja hingga beberapa bulan ke depan, dan sambil mencari lahan kerja baru di tempat lain, karena masih usia produktif.
Sudahi saja polemik ini agar tidak ada lagi yang menyebut bahwa KPK tidak fair, karena justru tes wawasan kebangsaan menilai apakah pegawainya bertindak adil atau tidak. Apakah mereka menjalankan implementasi pancasila dan UUD 1945, dan kukuh setia pada NKRI atau tidak.
Jika ada yang masih berpolemik tentang tes wawasan kebangsaan maka sama saja dengan stagnan atau malah melihat terus ke belakang. Seharusnya kita terus optimis dan menatap ke depan, dengan meningkatkan produktivitas kerja dari para pegawai KPK. Sehingga mereka lebih semangat dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute