Mengapresiasi Keputusan Pemerintah Merevisi UU ITE

Oleh : Ruly Adriansyah

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk merevisi empat pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Masyarakat mengapresiasi langkah tersebut dalam rangka meminimalisasi munculnya multitafsir sekaligus menjaga ruang siber Indonesia agar lebih sehat dan produktif.

Undang-Undang ITE baru dibuat tahun 2008 dan direvisi tahun 2016. UU ini dibuat agar ada pengawasan di dunia maya dan elektronik, karena jika tidak, akan ada konten yang kebablasan dan menghina seseorang, dengan alasan kebebasan berpendapat. Jika ada UU ITE, maka yang akan mem-bully di media sosial akan berpikir 2 kali, karena takut dijerat oleh pasalnya dan dijebloskan ke dalam bui.

Baca Juga

Walau sudah direvisi tetapi ada revisi lagi pada UU ITE. Perubahan ini dilakukan untuk menghindari penggunaan pasal karet, alias pasal yang seharusnya berfungsi untuk melindungi, malah mematikan bagi netizen yang tak bersalah. Karena sudah ada beberapa pihak yang terjerat, sehingga mereka memprotes UU ITE.

Pemerintah tidak berencana menghapus UU ITE karena dianggap sangat berguna untuk mengontrol postingan di internet dan media elektronik. Revisi UU dianggap lebih menyelesaikan masalah dan diharap setelah ada perubahan ini, tidak ada lagi WNI yang tersandung oleh pasal karet.

Beberapa pasal yang diubah dalam UU ITE adalah: pertama, pasal 27 yang terdiri dari 4 ayat (tentang ancaman hukuman bagi pelanggaran asusila, pelanggaran nama baik, perjudian, dan pemerasan serta pengancaman).

Selanjutnya adalah pasal 28 yang terdiri dari 2 ayat (ancaman hukuman bagi penyebar hoaks dan isu SARA), pasal 29 yang terdiri dari 1 ayat (tentang ancaman kekerasan), dan pasal 36 yang terdiri dari 1 ayat.

Setelah ada rencana revisi, maka selanjutnya pemerintah berunding dengan tim kajian UU ITE dan beberapa narasumber, termasuk para korban UU ini. Setelah diskusi, maka hasilnya adalah perubahan 4 pasal (yang disebut di atas), penambahan pasal 46C, dan SKB 3 kementrian dan lembaga mengenai implementasi UU.
Masyarakat juga mengapresiasi pemerintah yang mendengarkan langsung dari para korban yang terjerat UU ITE.

Mereka tidak bersalah tetapi hampir dibui, karena dilaporkan oleh oknum yang memanfaatkan pasal karet dalam UU ini. Jika pemerintah mau mendengarkan jeritan hati para korban, berarti sudah menjalankan demokrasi dengan benar, karena tidak mau ada orang yang tak bersalah yang terjebak dalam penjara.

Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa revisi 4 pasal dalam UU nomor 19 tahun 2019 alias UU ITE mencakup 6 hal, yakni kebohongan, judi, kesusilaan, fitnah, penghinaan, dan kebencian. Dalam artian jika ada netizen yang selalu mengunggah status di media sosial tentang ujaran kebencian pada siapapun, ia akan langsung terjerat UU ITE dan penjara sudah menanti.

Mahfud menambahkan, revisi akan memperkuat substansi dan menambah kalimat dalam UU ITE. UU direvisi agar pasal karetnya hilang, karena mengandung diskriminasi dan kriminalisasi. Dalam artian, pemerintah memperhatikan benar-benar tiap UU agar tidak mengandung pasal karet dan merugikan masyarakat sipil.

Jika UU ITE direvisi dan diperkuat, maka tidak akan ada netizen nakal yang seenaknya sendiri membuat status di media sosial, mengenai ujaran kebencian atau yang menghina pemerintah dan pihak lain. Sehingga keadaan di dunia nyata maupun dunia maya aman terkendali. Pasal karet juga direvisi sehingga tidak ada korban selanjutnya.

Masyarakat sangat mengapresiasi keputusan pemerintah untuk merevisi UU ITE karena pasal karet akan direvisi, sehingga tidak akan menjerat orang yang tak bersalah. Selain itu, revisi akan memperkuat UU ini sehingga tidak ada lagi rasa ketidaknyamanan, karena banyaknya hoaks dan ujaran kebencian yang tersebar di media sosial.

Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini

Related Posts

Add New Playlist