Oleh : Sunarman
FPI, PA 212, dan ormas-ormas lain akan menyelenggarakan unjuk rasa di depan Istana Negara, tanggal 18 desember 2020. Mereka menuntut Rizieq Shihab dibebaskan tanpa syarat dan menghimbau agar stop kriminalisasi ulama. Masyarakat tidak bersimpati sama sekali dengan aksi ini karena dilaksanakan di masa pandemi Covid-19 dan mampu meningkatkan potensi kluster baru Covid-19.
Tanggal 18 desember, masyarakat sudah mengantisipasi ramainya jalan di seputaran Istana Negara. Pasalnya, FPI, PA 212, dan gabungan ormas lain akan berdemo untuk menuntut bebasnya Rizieq Shihab. Mereka juga ingin agar kasus baku tembak antara 6 anggota laskar FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek diusut sampai tuntas.
Baca Juga
Slamet Maarif, juru bicara PA 212 menyatakan bahwa aksi ini berada di bawah koordinasi ormas Anak NKRI. Selain ingin Rizieq Shihab dikeluarkan dari dalam penjara, mereka juga menuntut pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi ulama dan stop diskriminisasi hukum. FPI sudah memberi surat izin untuk berdemo, sehingga diharap aksi ini tidak dihentikan aparat.
Baca juga: UU Cipta Kerja Mendorong Semangat Kewirausahaan
Masyarakat tentu mengernyitkan dahi ketika mereka ngotot untuk berunjuk rasa. Pasalnya, demo diadakan di hari kerja (jum’at) dan jam kerja (seusai jum’atan, sekitar jam 1 siang). Apakah mereka tidak bekerja, atau mendapat izin dari kantor untuk keluar? Jika memang iya, buat apa izin kerja dan rela dipotong gajinya hanya demi berdemo?
Sebegitu cintakah mereka pada Rizieq Shihab? Apakah Rizieq pernah berjasa besar dalam hidupnya? Rasanya mustahil, karena ia terbukti hanya besar omongan dan membanggakan dirinya sebegai keturunan nabi. Rasanya amat miris, jika ia benar seorang keturunan nabi, tapi kelakuannya tidak mencerminkan kesabaran dan kelembutan seperti dakwah nabi.
Selain itu, demo di masa pandemi juga dilarang, karena takutnya jadi momen penularan corona. Karena saat unjuk rasa, amat susah untuk menjaga jarak. Ratusan orang berkumpul dan melanggar protokol kesehatan physical distancing. Ketika berjalan berdempetan, mereka tak tahu siapa yang OTG dan siapa yang sehat, karena sebelum demo tidak ada rapid test terlebih dahulu.
Novel Bamukmin, sekretaris PA 212 menjamin bahwa demo ini mematuhi protokol kesehatan. Karena semua orang memakai masker dan menjaga jarak. Namun masyarakat meragukan pernyataan Novel, karena bisa saja mereka pakai masker, namun dilepas dalam perjalanan. Apakah bisa menjaga jarak minimal 1 meter, ketika ada ratusan orang yang berkumpul?
Selain itu, masyarakat sangat tak setuju dengan demo itu. Pertama, unjuk rasa mengganggu lalu lintas. Mereka tak bisa melewati jalan di seputar Istana Negara, dan harus memutar untuk mencari rute lain. Unjuk rasa untuk membebaskan 1 orang saja sudah merepotkan dan membuat banyak orang rugi, karena tak bisa melintasi rute yang biasanya.
Kedua, masyarakat tidak suka tuduhan FPI, PA 212, dan konco-konconya, yang menyebut bahwa Rizieq Shihab adalah korban kriminalisasi ulama. Pemerintah tidak sedang melakukan kriminalisasi pemuka agama, namun malah menegakkan kebenaran. Karena Rizieq terbukti sering melakukan hate speech yang berisi isu SARA, dan melanggar pasal 28 ayat 2.
Rizieq juga melanggar UU kekarantinaan, karena mengabaikan protokol kesehatan saat menyelenggarakan pesta pernikahan yang mengundang 10.000 orang. Apa pendemo lupa bahwa peristiwa itu membawa korban sampai 80 orang? Pasien corona itu tertular setelah menghadiri pesta dan ceramah Rizieq.
Hentikan saja unjuk rasa sebelum dihalau oleh aparat. Para pendemo tak usah membela orang yang bersalah, karena ia harus mempertanggungkan perbuatannya di dalam penjara. Lebih baik mereka pulang dan tetap menaati protokol kesehatan, daripada berunjuk rasa dan punya resiko tinggi untuk tertular corona dari klaster demonstrasi.
Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang