Oleh : Hananta
Awal tahun 2020, radikalisme rupanya telah menjadi perhatian pemerintah karena dinilai sangat meresahkan masyarakat. Gerakan Islam Radikala berkecambah subur dalam konteks politik.
Ideologi tersebut seakan berusaha bangkit untuk melawan negara bangsa dengan menjadikan Islam sebagai tameng, baik berskala global semacam Khilafah Islamiyah maupun skala nasional seperti Daulah Islamiyah.
Baca Juga
Gerakan radikal di Indonesia kerap mengatasnamakan agama dan hal ini sudah berlangsung sejak abad pertangahan. Dalam kasus terorisme, misalnya. Karena pelaku seorang muslim, maka timbul stigma di masyarakat bahwa terorisme itu identik dengan Islam. Namun sebenarnya stigma tersebut merupakan hal yang salah, sebab Islam tidak mengajarkan kekerasan apalagi menyakiti hati semua.
Baca juga: Radikalisme Membahayakan Kehidupan Berbangsa
Inspektur Wilayah III Inspektorat Jenderal Kemenag Hilmi Muhammadiyah memaparkan, radikalisme di Indonesia justru terus menggelinding bak bola sajlu. Keberadaannya seakan terus menggerus rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta menimbulkan keresahan di masyarakat.
Agar paham radikalisme tidak terus meluas, maka seluruh elemen masyarakat haruslah membendung paham tersebut agar tidak kecolongan. Karena tidak hanya masyarakat umum saja yang rawan terpapar radikalisme, justru tidak sedikit pengikut paham tersebut dari kalangan terdidik.
Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian tersendiri khususnya bagi kalangan pendidik agar senantiasa memberikan pemahaman tentan wawasan kebangsaan.
Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebutkan bahwa di Indonesia, ada 3 macam radikalisme. Pertama adalah radikalisme secara keyakinan. Radikalisme seperti ini adalah orang yang selalu menilai orang lain kafir.
Radikalisme semacam itu kerap memberikan penilaian atau penghakiman bahwa seseorang akan masuk neraka kecuali golongan/kelompoknya.
Radikalisme jenis kedua adalah secara tindakan. Dalam jenis tersebut, Haidar mencontohkan seperti kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Hasil pengamatannya adalah, JAD merupakan kelompok yang selalu menghalalkan segala cara, termasuk melakukan pembunuhan atas nama agama.
Tentu saja paham radikal masih menjadi ancaman yang serius bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir.
Menurutnya, selama 10 tahun terakhir ini alarm akan adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi, Termasuk ketika Indonesia sedang melakukan agenda Pemilu yang kerap diiringi dengan meningkatnya intoleransi di Indonesia.
Tak jarang aksi kekerasan tersebut dapat menimbulkan korban jiwa dan menyisakan duka yang amat mendalam.
Jika dilihat dari sudut pandang agama, kata radikalisme dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/radikal untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayai untuk diterima secara paksa.
Mereka yang berpikiran radikal, akan menganggap bahwa tindakan seperti teror bom, melakukan penyerangan kepada aparat ataupun perusakan rumah ibadah agama lain merupakan bagian dari jihad.
Bahkan jika ada sebagian dari anggotanya yang meninggal, maka kelompok radikal tersebut akan menganggap almarhum sebagai seorang yang merindukan surga.
Masalah ekonomi ternyata juga menjadi sebab seseorang untuk serta merta percaya pada tokoh-tokoh yang radikal karena dianggap dapat membawa perubahan drastis pada hidup. Selain itu pendidikan maupun pengajaran agama yang salah oleh tenaga pendidik dengan memberikan ajaran yang salah juga menjadi sumber penyebab orang menjadi radikal.
Suoaya paham radikalisme tidak terus meluas, maka seluruh elemen masyarakat haruslah membendung paham tersebut agar tidak kecolongan. Karena tidak hanya masyarakat umum saja yang rawan terpapar radikalisme, justru tidak sedikit pengikut paham tersebut dari kalangan terdidik.
Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian tersendiri khususnya bagi kalangan pendidik agar senantiasa memberikan pemahaman tentan wawasan kebangsaan.
Salah satu upaya konkrit yang bisa dilakukan adalah dengan memahami nilai-nilai nasionalisme, jangan sampai rasa nasionalisme terkikis seiring dengan melesatnya perkembangan teknologi. Sebab, para generasi muda yang rentan terhadap paparan paham radikalisme.
Jika radikal mengajarkan kekerasan, sudah pasti ajaran tersebut tidak sesuai dengan agama Islam di Indonesuaia, karena iIslamslam memiliki arti perdamaian, dan Dakwah Islam bertujuan untuk menyebarkan kasih sayang dan kebaikan, bukan sikap saling membenci dan menyakiti.
Penulis warganet tinggal di Bogor