Oleh : Edi Jatmiko
Istilah new normal diganti menjadi adaptasi kebiasaan baru agar masyarakat lebih sadar untuk menjaga higienitas. Karena pandemi masih belum berakhir, bahkan Covid-19 bisa menyebar melalui airborne. Jadi kita masih harus pakai masker dan mematuhi protokol kesehatan, seperti pada masa awal pandemi.
Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 menyatakan bahwa pemerintah mengganti istilah new normal jadi ‘adaptasi kebiasaan baru. Perubahan ini dilakukan karena orang-orang salah paham dan hanya membaca kata ‘normal’, sehingga dipikir bahwa keadaan sudah normal, padahal masa pandemi masih berlaku.
Baca Juga
Yuri menambahkan bahwa masyarakat seharusnya tetap disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan, seperti saat awal serangan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah tidak henti-hentinya mengkampanyekan untuk rajin cuci tangan atau pake hand sanitizer, pakai masker, dan jaga jarak. Juga menyarankan agar masyarakat menjaga kesehatan dan imunitas lingkungan.
Baca juga:Gak Sangka, Begini Kondisi 11 Santri Gontor 2 yang Terkena Covid 19
Adaptasi kebiasaan baru berarti berusaha hidup dengan produktif walau ada virus covid-19 di Indonesia. Kita hidup berdampingan dengan Covid-19 dan bekerja kembali di luar rumah, dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Karena virus ini tidak akan menular ketika manusia sehat. Jadi new normal bukanlah back to normal dan tidak menjalankan aturan kesehatan.
Kebingungan istilah new normal membuat masyarakat melepaskan masker dan mulai bepergian lagi seperti biasa, bahkan berwisata ke luar kota. Padahal hal ini berbahaya karena virus covid-19 saat ini bermutasi sehingga bisa menular lewat udara, bukan lewat droplet seperti dulu. Jadi satu-satunya perlindungan adalah memakai masker kain.
Kita juga masih wajib menjaga jarak (physical distancing). Di era adaptasi kebiasaan baru ini, kendaraan umum tidak boleh terisi penuh, dan ada kursi yang diberi tanda silang agar tidak diduduki. Di tempat umum seperti Bank dan Rumah Sakit juga seperti itu. Tanda silang itu sebagai pembatas dan jangan malah duduk berdempetan di satu kursi.
Di masa adaptasi kebiasaan baru ini, sekolah bisa mulai dibuka. Namun dengan beberapa syarat, yakni lokasinya berada di zona hijau. Yang boleh dibuka juga setingkat SMU dan SMP, karena untuk anak SD dan TK masih rawan tertular Covid-19. Murid tidak datang setiap hari, hanya 2 sampai 3 kali seminggu dan sisanya dengan pembelajaran online di rumah.
Di masa adaptasi kebiasaan baru, pasar juga dibuka lagi. Namun dengan syarat pedagang dan pembeli harus pakai masker, dan disediakan hand sanitizer. Begitu juga dengan orang-orang di sekeliling pasar, seperti tukang parkir, penjual kaki lima, juga harus pakai masker kain. Karena penyebaran Covid-19 juga bisa terjadi melalui uang kertas, selain via droplet.
Di pasar juga sering diadakan rapid test untuk mengetahui apakah ada yang positif Covid-19. Karena sekarang banyak OTG alias orang tanpa gejala yang tidak demam dan batuk, ternyata ketika dites, hasilnya terinfeksi covid-19. Ketika ada pedagang yang kena Covid-19 maka ia segera dirawat, pasar ditutup sementara, dan disemprot cairan disinfektan.
Pusat perbelanjaan juga dibuka lagi namun sebelum masuk, harus cuci tangan dan diperiksa suhu badannya. Di dalam supermarket juga dibatasi jumlah pengunjungnya agar tetap mematuhi aturan jaga jarak. Pembeli yang akan masuk namun tidak memakai masker, langsung disuruh pulang. Pembayaran juga memakai non tunai alias pakai uang digital.
Adaptasi kebiasaan baru menggantikan istilah new normal agar masyarakat tidak bingung dengan kata ‘normal’. Pemerintah selalu mengkampanyekan untuk hidup bersih dan mematuhi protokol kesehatan, dan jangan lupa pakai masker. Karena sekarang Covid-19 makin ganas dan bisa menular lewat udara, jadi masyarakat harus tetap waspada.
Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini