Oleh : Abner Wanggai
Kasus George Floyd di Amerika mencuatkan tagar #BlackLivesMatter di media sosial. Di Indonesia, hashtag ini lalu diubah jadi #PapuaLivesMatter oleh beberapa orang yang merasa bahwa masih ada diskriminasi bagi warga asli Papua.
Padahal di Papua sudah tidak ada lagi kasus kekerasan terhadap warga asli, jadi tidak bisa disamakan dengan kasus kematian George Floyd. Masyarakat diimbau untuk tetap mewaspadai provokasi yang dilakukan oleh kelompok separatis tersebut.
Baca Juga
Akhir-akhir ini, tagar #PapuaLivesMatter sedang tren di media sosial Twitter dan Instagram. Naiknya hashtag ini bukan karena ulah buzzer, namun disebabkan oleh adanya oknum yang yang merasa dianaktirikan, lalu berkoar-koar di media sosial. Mereka memanfaatkan momen ketika ada tagar #BlackLivesMatter yang muncul karena kasus kematian warga kulit hitam Amerika, George Floyd.
Tagar #Papualivesmatter ini patut diwaspadai agar kita tidak mudah terprovokasi. Kondisi di Papua tidak bisa disamakan dengan kasus rasisme di Amerika. Ketika George Floyd meninggal dengan tragis karena kekejaman oknum petugas yang rasis, apakah ada kasus serupa di Indonesia? Kenyataannya, di Papua aman-aman saja. Begitu juga di daerah lain di mana ada warga asli Papua yang sedang merantau, tidak ada rasisme di sana.
Baca juga: Masyarakat Menolak Provokasi #PapuanLivesMatter
Awal mula ketika tagar #Papualivesmatter muncul, lantas di-blow up oleh Veronica Koman, seorang pengacara. Sejak beberapa tahun lalu, ia memang rajin berbicara di depan publik dan membela hak warga asli Papua yang menurutnya sering mengalami diskiriminasi di Indonesia. Beberapa pihak malah menuduhnya tidak setia pada NKRI karena dengan menaikkan tagar #PapuaLivesMatter bisa merusak kerukunan antar suku di Indonesia.
Jika himbauan untuk mendukung gerakan #PapuaLivesMatter terus didengungkan, maka semua rakyat bisa menyetujuinya, padahal hal ini tidak benar.
Dikhawatirkan malah bisa memicu keretakan antar suku. Sebagai wilayah paling Timur di Indonesia, memang ada kaum separatis yang ingin berpisah dari Indonesia. Walau Organisasi Papua Merdeka sudah diberangus, namun pecahannya masih juga berupaya untuk memerdekakan diri dan merusak persatuan di Indonesia.
Kaum separatis di Papua bisa makin senang ketika banyak yang terprovokasi oleh #PapuaLivesMatter. Padahal selama ini mereka yang mengacaukan kedamaian di Papua dan melakukan berbagai cara agar bisa berpisah dari NKRI.
Masihkah ingat dengan kasus Istaka Karya? Akhir tahun 2018 lalu, puluhan pekerjanya ditembak oleh anggota KKSB (kelompok Kriminal Separatis Bersenjata). Peristiwa ini menggegerkan warga Kabupaten Nduga, Papua, karena penembakannya terjadi di sana. Berita tentang kekejaman KKSB pun bergaung sampai ke seluruh Indonesia.
Akhir mei 2020 lalu juga ada kasus penembakan di Distrik Wandai Kabupaten Intan Jaya, Papua. Sedihnya, yang ditembak adalah 2 orang petugas medis Covid-19, dan 1 orang langsung meninggal dunia.
Sedianya mereka akan mengantar obat corona bagi warga Papua, malah ditembak oleh anggota kelompok separatis Papua. Bukankah mereka mengemban misi mulia? Namun malah dihabisi oleh anggota KKSB yang menganggap 2 petugas medis itu adalah representasi dari pemerintah yang mereka benci.
Isu rasisme di Papua memang sengaja dinaikkan oleh para oknum agar banyak WNI yang membela mereka. Padahal kenyataannya berlawanan. Tidak ada lagi rasisme di Indonesia.
Bahkan Presiden Joko Widodo menunjuk 2 putra Papua untuk jadi pejabat penting pemerintahan. Yakni Wakil Mentri PUPR Wempi Wetipo dan Kepala BKPN Bahlil Lahadalia. Mereka dipilih berdasarkan kemampuannya dan tidak dilihat warna kulitnya.
Jangan sampai kita juga terprovokasi oleh tagar #PapuaLivesMatter. Keadaan di Papua beda jauh dengan di Amerika. Tidak ada rasisme di Indonesia. Jika mendukung Papua Lives Matter maka kaum separatis akan senang karena mereka yang sengaja mem-blow up isu tersebut untuk memecah belah persatuan bangsa.
Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta