Oleh : Edi Jatmiko
Radikalisme harus diakui bahwa hal tersebut sangatlah berbahaya bagi perdamaian umat manusia, ajaran tersebut berawal dari sikap intoleransi hingga berujung pada tindakan teror seperti peledakan bom atau penyerangan terhadap umat agama lain. Semua pihak pun harus bersinergi karena radikalisme masih mengincar masyarakat.
Dalam sebuah kuliah umum bertajuk pencegahan radikalisme dan penguatan identitas bangsa yang diselenggarakan Fakultas Filsafat UGM. Mantan teroris Machmudi Haryono alias Yusuf, mengajak kepada para milenial untuk tidak terjebak dalam kubangan radikalisme.
Baca Juga
Baca juga: Mewaspadai Penyebaran Radikalisme
Yusuf menuturkan agar para mahasiswa dapat memahami sesuatu secara komprehensif. Jika ada suatu berita ataupun pemahaman, maka cobalah untuk mencari pembanding yang lain agar tidak terjebak dengan hal yang itu-itu saja.
Dalam kesempatan tersebut, dirinya juga menceritakan pengalamannya saat masih berada di dalam pusaran radikalisme puluhan tahun silam. Yususf mengungkapkan bahwa dirinya pernah bergabung dalam kelompok Jamaah Islamiyah dan Mujahidin Moro Islamic Liberation Front (Filipina).
Dirinya mengaku menjadi jihadis karena dipicu oleh Perang Bosnia. Setelah melihat videonya, ia jadi ingin tahu lebih jauh kenapa ada konflik dan muncul rasa simpati kenapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada tahun 2003 Yusuf berhasil diamankan dan divonis 10 tahun penjara karena keterlibatannya dalam terorisme.
Namun kali ini dirinya telah bertobat dan aktif membantu pemerintah dalam menyuarakan perdamaian dan anti terhadap radikalisme serta terorisme.
Selain Yusuf dalam kesempatan tersebut juga menghadirkan Febby yang merupakan korban dari aksi ledakan di Hotel JW Mariot Jakarta 2003 silam.
Febby mengaku bahwa dirinya masih belum bisa melupakan tragedi kelam yang menimpanya. Akibat ledakan bom tersebut, tubuh febby mengalami luka bakar hingga 45 persen. Dia pun harus menjalani serangkaian operasi untuk memulihkan luka.
Dirinya juga mengakui bahwa akibat dari tragedi tersebut, pernikahannya hampir gagal, ia mengalami trauma psikologis dan menghabiskan waktu yang lama untuk penyembuhan fisik dan mental.
Meskipun kejadian tersebut sudah lebih dari 16 tahun yang lalu, rasa trauma masih ada dalam benaknya. Ia mengakui bahwa tidak mudah untuk sembuh dari trauma tersebut, Saat itu dia rutin mengikuti sesi konseling psikologis untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Cerita tersebut menunjukkan bahwa pemikiran radikal dapat melahirkan sesuatu yang merusak, selain rusak ideologi rusak jugalah fisik dan psikis manusia, semakin radikal seseorang artinya semakin besar pula kekacauan yang bisa ditimbulkan.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Agama Fachrul Razi menyebut ada tiga pintu masuk paham radikal melalui dunia pendidikan. Pintu masuk radikalisme di dunia pendidikan, mulai dari kurikulum, soal ujian, hingga peran guru.
Pertama, Fachrul mengatakan radikalisme itu melalui kurikulum pendidikan dan soal ujian sekolah. Ia pernah mengungkap soal temuan soal ujian yang berisi tentang akhlak Rasulullah yang tidak pantas dicontoh. Baginya itu sama sekali tidak pantas.
Kemudian, pintu masuk kedua adalah program ekstrakurikuler di sekolah. Untuk itu, ia menyarankan agar pembina ekstrakurikuler tidak berjalan begitu saja, melainkan harus melalui rekomendasi guru.
Dengan adanya pintu-pintu masuk paham radikal, Fachrul Razi meminta segenap Guru Pendidikan Agama Islam dan lembaga pendidikan untuk mewaspadai masuknya paham radikal melalui dunia pendidikan.
Pintu yang ketiga adalah melalui guru. Dirinya berharap agar segenap guru PAI dan pengajar lainnya diminta untuk senantiasa mangusung pelajaran Islam dengan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.
Guru PAI juga berperan dalam mengendalikan paham keagamaan yang intoleran melalui pendidikan agama islam yang mencerdaskan.
Kita semua tentu harus sadar bahwa dalam beragama tidak bertujuan untuk membenci sesama manusia yang berbeda pemahaman, justru dalam belajar beragama haruslah mampu menguatkan perdamaian sesama makhluk Tuhan.
Belajar Agama bukan berarti membuat seseorang menganggap pancasila itu thagut, atau membuatnya anti menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Penguatan nilai-nilai kebangsaan haruslah ditanamkan baik di lingkungan sekolah maupun universitas. Jangan sampai lembaga pendidikan yang melahirkan insan intelektual lantas dicekoki dengan paham radikal yang dapat merongrong kebhinekaan.
Paham radikal umumnya berawal dari ajakan untuk tidak bersikap toleran terhadap umat agama lain, lalu mulai membencinya dan mengkafir-kafirkan sesama pemeluk agama. Sikap waspada tentu sangatlah diperlukan sebagai benteng diri dari ancaman paparan radikalisme.
Penulis aktif dalam lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini