Oleh : Aziz Rinaldi (Pengamat Pegiat Media Sosial)
Peristiwa demonstrasi yang terjadi beberapa hari belakangan terus diperbincangan di media sosial. Video dan foto kekerasan pun terus mengalir dan menjadi perbincangan di masyarakat. Padahal, penyebaran tersebut hanya meningkatkan ketakutan dan memicu rasa saling curiga diantara warga. Warganet harus bijak menyikapi fenomena ini.
Baca juga: Demi Wujudkan SDM Unggul, Presiden Jokowi Penuhi Aspirasi Tokoh Papua
Baca Juga
Media sosial seakan menjadi ruang bagi siapapun untuk berbagi secara bebas, hal ini karena tipisnya penyaringan informasi kecuali diri kita sendirilah yang menjadi filter akan konten yang kita lihat / baca. Berbagai Video maupun Foto perihal kekerasan pun telah jamak kita liat di berbagai linimasa, mulai dari aksi di Papua hingga kerusuhan Demonstrasi terkait penolakan RUU KUHP diberbagai wilayah.
Tersebarnya konten tersebut tentu banyak menggangu pengguna internet yang ingin mengakses informasi tertentu, artinya sebelum masuk ke dalam sosial media, kita harus sinkronkan jari dan pikiran untuk tidak membagikan sesuatu yang bernada provokatif maupun kekerasan.
Media Sosial telah menjadi salah satu sarana komunikasi berbasis online yang pertumbuhannya cukup pesat. Pengamat media Rulli Nasrullah mengatakan, media sosial telah memberikan banyak bukti yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan tidak terlalu banyak mempengaruhi literasi digital.
Menurutnya, sikap netizen sudah semestinya tetap kritis. Hal ini dilakukan agar terhindar dari provokasi yang menimbulkan perpecahan akibat keributan informasi yang tidak jelas kebenarannya.
Suatu berita provokatif yang sering diributkan, tentu akan semakin mudah menyebar. Dalam hal ini kita perlu memahami pepatah klasik yang mengatakan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Artinya jika konten negatif telah menyebar hingga masuk kedalam jiwa seseorang, maka untuk menyembuhkan dan memperbaikinya adalah hal yang cukup sulit.
Dalam berselancar di sosial media tentu ada etika yang menjadi acuan para netizen, dimana pengguna internet sebaiknya menggunakan waktunya dalam bersosial media untuk menjalin silaturahmi dan kerjasama dalam membangun bangsa, bukan sebagai instrumen untuk bertikai dan salin menjelek – jelekkan.
Pada paragraf awal, kita sudah tahu bahwa filter di sosial media sangatlah minim, artinya kita harus tetap menggunakan nalar dalam mencerna konten yang ada di sosial media, analisalah secara baik pesan maupun berita yang mengandung nuansa kekerasan atau hate-speech yang jelas – jelas bertujuan untuk merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Media sosial juga bisa menjadi racun, untuk itu perlu kiranya kita melakukan detoksifikasi digital dengan cara “menghapus” dan tidak mengirim pesan maupun berita yang berpotensi memberikan dampak negatif di masyarakat. Jari kitalah yang menjadi filter terkuat, jangan sampai kita menjadi agen penyebaran video maupun foto yang berisi konten kekerasan, perlu diingat media sosial adalah media hiburan dan silaturahmi, bukan tempat untuk mengajak pada kekerasan.
Sementara itu, kita juga harus memahami bahwa media sosial bisa menjadi jebakan yang berbahaya, artinya jangan hanya terpaku hanya dari 1 sumber saja, jika ada konten yang meresahkan, janganlah langsung dipercaya. Kita mesti menggali sebanyak mungkin data yang sahih dan reliabel, setidaknya harus ada berita pembanding agar kita tidak terjerumus kedalam jebakan persepsi dan asumsi yang keliru.
Kita tentu telah banyak mengetahui, bahwa media sosial mampu menjadikan orang menjadi pembenci dan radikal, atau minimal ada 1 bibit kebencian atas apa yang kita bagikan di sosial media. Tentunya kita harus mengaktifkan kepekaan perasaan kita terkait dengan dampak dari pesan ataupun konten yang kita tulis untuk disampaikan ke publik melalui sosmed, tentu harus melalui tahap perenungan dan pertimbangan dahulu secara sungguh – sungguh, karena konten negatif dapat memberikan dampak dahsyat yang merugikan umat manusia.
Dalam menanggapi informasi yang cenderung provokatif di sosial media, tentu kita perlu bersikap skeptis terlebih dahulu, misalnya saja bentrokan yang terjadi antara aparat dengan mahasiswa, kita tentu perlu berpikir ulang, apakah mahasiswa saat ini se bar bar itu, ataukah mungkin ada penyusup didalamnya yang merusak fasilitas publik.
Pemikiran tersebut tentu akan menghindarkan kita dari jebakan asumtif terhadap sebuah peristiwa, jikalaupun konten kekerasan tersebut benar adanya, tentu saja tidak akan ada gunanya untuk kita sebarkan.
Jangan sampai kita diperbudak oleh teknologi, dengan kecanggihan akses informasi yang semakin cepat, jangan sampai kita menjadi manusia yang cepat marah hanya karena informasi yang tidak jelas keabsahannya. Rumusnya Baca, Teliti, Renungi dan tidak asal klik tombol share.