Paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hidup di masa kerasulan ada empat orang. Dua orang beriman kepada risalah Islam dan dua lainnya kufur bahkan menentang. Dua orang yang beriman adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhuma. Satu orang menolong dan menjaganya, tidak menentang dakwahnya, namun ia tidak menerima agama Islam yang beliau bawa. Di adalah Abu Thalib bin Abdul Muthalib. Dan yang keempat adalah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Ia menentang dan memusuhui keponakannya. Bahkan menjadi tokoh orang-orang musyrik yang memerangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu nama terakhir ini biasa kita kenal dengan Abu Lahab. Dan Alquran mengabadikannya dengan nama itu.
Baca Juga
Kun-yah dari Abdul Uzza bin Abdul Muthalib adalah Abu Lahab. Jika diartikan Lahab memiliki arti api. Karena Abdul Uzza ketika marah, raut wajahnya berubah menjadi merah seperti api. Dengan kun-yahnya inilah Alquran menyebutnya, bukan dengan nama aslinya. Nah kenapa seperti itu? Ini dia alasannya:
Pertama: Karena Alquran tidak menyebutkan nama dengan unsur penghambaan kepada selain Allah. Namanya adalah Abdul Uzza yang berarti hambanya Uzza. Uzza adalah berhala musyrikin Mekah.
Kedua: Orang-orang lebih mengenalnya dengan kun-yahnya dibanding namanya
Ketiga: Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya bahwa nama asli itu tersebut lebih mulia dari kun-yah. Sebab itu, Allah menyebut para nabi-Nya dengan nama-nama mereka sebagai pemuliaan. Dan menyebut Abu Lahab dengan kun-yahnya. Karena kun-yah kedudukannya di bawah nama. Ini menurut al-Qurthubi rahimahullah.
Orang-orang di masanya pun lebih mengenal Abu Lahab dengan Abu Utbah (ayahnya Utbah). Namun karena kekafiran, Allah Subhanahu waTa’ala kekalkan nama Abu Lahab untuknya. Sebenarnya ia adalah tokoh Mekah yang cerdas. Namun disayangkan kecerdasan dan kepandaiannya tidak bermanfaat sama sekali di sisi Allah, karena tidak ia gunakan untuk merenungkan kebenaran syariat Islam yang lurus.
Istri Abu Lahab adalah Ummu Jamil Aura’. Nama yang tak seindah karakter aslinya. Ia diabadikan dalam surat al-Masad sebagai wanita pembawa kayu bakar. Perlakuannya amat buruk terhadap Rasulullah. Ia taruh kayu dan tumbuhan berduri di jalan yang biasa dilewati Rasulullah di malam hari agar Nabi tersakiti. Ia tak kalah buruk dengan suaminya.
Adapun Ummu Jamil merupakan seorang wanita yang suka mengadu domba dan menyulut api permusuhan di tengah masyarakat. Ia memiliki kalung mahal terbuat dari permata, “Demi al-Lat dan al-Uzza, akan kuinfakkan kalung ini untuk memusuhi Muhammad”, katanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala gantikan kalung indah itu dengan tali dari api Jahannam untuk mengikat lehernya di neraka.
Kemudian kala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan surat al-Masad yang mencelanya dan sang suami, wanita celaka ini langsung mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sambil membawa potongan batu tajam, ia masuk ke Masjid al-Haram. Saat itu Rasulullah bersama Abu Bakar berada di sana. Saat telah dekat, Allah Subhanahu waTa’ala butakan pandangannya dari melihat Rasulullah. Ia hanya melihat Abu Bakar. Sehingga tak ada Rasulullah di sampingnya.
“Wahai Abu Bakar, aku mendengar temanmu itu mengejekku dan suamiku! Demi Allah, kalau aku menjumpainya akan aku pukul wajahnya dengan batu ini!!” Cercanya penuh emosi.
Dari kisahnya tersebut kita pun bisa mengambio pelajaran. Pertama, Abu Lahab memiliki segalanya. Ia menyandang nasab mulia, bangsawan dari kalangan bani Hasyim. Terpandang dan memiliki kedudukan di tengah kaumnya. Paman manusia terbaik sepanjang masa. Seorang yang cerdas dan pandai memutuskan masalah. Profesinya pebisnis, tugasnya mengambil barang dari Syam untuk dipasok di Mekah atau sebaliknya. Tapi ini sama sekali tidak bermanfaat untuknya. Sebab itu seseorang jangan tertipu dengan dunia yang ia miliki. Apalagi yang tidak memiliki dunia.
Kedua: Penampilan fisik, kedudukan, kekayaan, bukanlah acuan seseorang itu layak diikuti dan didengarkan ucapannya. Karena sering kita saksikan di zaman sekarang, orang kaya lebih didengar dan diikuti daripada para ulama. Ketika motivator bisnis, mereka yang menyandang gelar akademik tinggi, berbicara tentang agama, masyarakat awam langsung menilainya sebuah kebenaran.
Ketiga: Pasangan seseorang itu tergantung kualitas dirinya. Ia bagaikan cermin kepribadian.
Keempat: Hidayah Islam dan iman itu sangatlah mahal dan berharga. Sebuah kenikmatan yang tidak Allah berikan kepada keluarga para nabi. Anak Nabi Nuh, istri Nabi Luth, ayah Nabi Ibrahim, dan paman Rasulullah , Abu Thalib dan Abu Lahab, tidak mendapatkan kenikmatan ini. oleh karena itu, kita layak bersyukur. Allah memilih kita menjadi seorang muslim sementara sebagian keluarga para nabi tidak. Pantas kita syukuri nikmat ini dengan mempelajari Islam, mengamalkan, dan mendakwahkannya.