Oleh : Rahmat Siregar
Demonstrasi berujung kericuhan terjadi di Manokwari dan Sorong, Papua Barat pada 19 Agustus 2019. Pemicunya disebabkan oleh video provokatif yang disebar lewat media sosial yang bisa diakses tiap detik. Sebuah video yang beredar saja ternyata mampu membakar emosi masyarakat Papua terutama di Manokwari dan Jayapura.
Memang ada segelintir orang Papua yang menginginkan untuk berpisah dari Indonesia, namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membenci mereka atau membenci mereka dengan sebutan binatang.
Baca Juga
Salah satu upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan ber tabayyun, atas sebuah perkara. Dalam kasus Mahasiswa Papua yang ada di Malang misalnya, Pihak kepolisian terpaksa membubarkan massa karena ada diantara mereka yang menyuarakan kemerdekaan bagi Papua. Hal ini tentu telah melanggar ketentuan tentang penyelenggaraan aksi, sehingga pihak kepolisian berhak untuk membubarkan acara tersebut.
Selain itu, Mahasiswa Papua yang ada di Surabaya, diduga telah merusak bendera merah putih, namun bukan berarti semua Mahasiswa asal Papua harus dimusuhi, tidak semua dari mereka adalah bagian dari gerakan sparatis seperti yang dilakukan oleh kelompok pimpinan Egianus Kogoya.
Dengan menggeneralisir bahwa orang Papua separatis, tentu sama saja kita melukai bangsa kita sendiri.
Kita harus paham, bahwa Papua yang setelah proklamasi 17 Agustus 1945 – tahun 1969 masih dibawah kolonial Belanda, setelah PEPERA menjadi sah “sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI”.
Aksi yang membakar amarah tersebut, juga mendapat perhatian dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dimana Ia mengingatkan kepada kepala daerah untuk menahan diri agar tidak memberkan pernyataan yang dapat memicu emosi warga di Papua dan Papua Barat.
Selain Kepala Daerah dan Pejabat, tokoh masyarakat yang menjadi panutan masyarakat pun diminta memberikan pernyataan yang dapat mendinginkan suasana.
Dari penuturan tersebut, bisa kita pahami bahwa tokoh masyarakat memiliki peranan penting dalam menjaga perdamaian dan persatuan di Indonesia. Ternyata hanya perlu beberapa video saja untuk dapat membakar amarah rakyat Papua, namun membutuhkan lebih banyak orang yang memiliki ittikad untuk merajut kembali perdamaian dan persatuan.
Sementara itu, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, meminta kepada Wakil Walikota Malang untuk menyampaikan permintaan maaf ke seluruh warga Papua. Permohonan maaf tersebut ditengarai karena Sofyan dengan tak segan mengatakan akan memulangkan Mahasiswa asal Papua ke daerah asalnya jika membikin ricuh.
Dalam hal ini, pejabat sekaliber wakil Walikota mungkin merasa bahwa ia harus menjaga kotanya agar senantiasa damai dan tidak ada kericuhan yang dapat mengganggu aktifitas warga.
Namun, bukan berarti kita lantas menyalahkan Gubernur Papua, karena memang faktanya tidak semua Mahasiswa asal Papua menjadi biang kerok kericuhan, sehingga tidak bisa kita generalisir bahwa Mahasiswa Asal Papua yang bermukim di Jawa Timur merupakan Mahasiswa yang senang membuat keributan.
Meski kabar di sosial media telah melumpuhkan aktifitas di Manokwari, kabar menyejukkan datang dari Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya Piter Frans Rumaseb, yang memastikan bahwa warga Papua di Surabaya dalam kondisi aman.
Dia juga meminta kepada warga Papua agar tidak merasa khawatir yang berlebihan. Dia juga lah yang membantah akan adanya kabar pengusiran terhadap Mahasiswa Papua dari asrama di Jalan Kalasan Surabaya.
Karena waktu itu yang terjadi adalah, beberapa ormas meneriaki “monyet” lalu pihak kepolisian datang untuk mengamankan Mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut untuk dimintai keterangannya, jika mereka tidak diamankan pihak kepolisian, mungkin suasana akan menjadi lebih chaos.
Frans Rumaseb juga mengatakan, justru aparat kepolisian berusaha melindungi Mahasiswa Papua dari upaya persekusi ormas.
Pada kesempatan berbeda, Walikota Surabaya Tri Rismaharini meminta maaf jika terdapat kesalahpahaman terkait kejadian di asrama Papua. Dirinya juga menyesalkan akan adanya kejadian tersebut.
Dirinya juga meminta agar semua pihak menahan diri atas buntut kejadian di asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Risma mengingatkan agar tidak ada perbedaan diantara suku satu dengan yang lain.
Kita perlu mengingat kembali pada masa 1928 sejak adanya peristwa sumpah pemuda, dimana seluruh anak bangsa di Nusantara menyatakan satu Indonesia. Terlebih kemerdekaan yang didapat Indonesia ialah hasil perjuangan bersama seluruh masyarakat Indonesia.