Oleh : Rahmat Hidayat (Pengamat Masalah Sosial Politik)
Sebelum tanggal pencoblosan pada 17 April 2019 lalu, para kontestan baik dari Capres, Cawapres maupun dari Partai Politik peserta Pemilu telah menandatangani Pakta Integritas, dimana meraka akan menerima apapun hasil pemilu, termasuk deklarasi anti Hoax.
Selain itu mereka juga mengucapkan janji dan menyatakan siap menang dan siap kalah, janji tersebut telah diucapkan oleh masing – masing ketua maupun pengurus partai dihadapan Ketua KPU, dan awak media dari media massa maupun elektronik telah meliputnya.
Baca Juga
Termasuk diantaranya, para peserta pemilu akan menempuh jalur hukum apabila terjadi kecurangan, serta tidak akan berbuat anarkis ketika melihat perolehan suara yang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Janji – janji surga juga telah terucap oleh para kontestan, tentu masyarakat tinggal menunggu kesetiaan mereka pada janji tersebut.
Namun ternyata masih ada pihak yang menggaungkan pemilu curang dan mengklaim bahwa dirinya menjadi pemenang dengan torehan suara lebih dari 60 persen, padahal hasil real count dari KPU tidak menunjukkan angka tersebut.
Pihak yang merasa dicurangi lantas menggemakan provokasi, padahal 17 April sudah lewat, mereka masih saja yakin akan kemenangannya dan meminta para pendukung dan simpatisannya untuk tidak menonton televisi.
Mereka yang pada umumnya pendukung 02 masih saja berulah dengan menganggap bahwa KPU telah berbuat kurang adil, dengan membiarkan banyak kecurangan terjadi sehingga menguntungkan pasangan Capres 01, mereka kurang percaya dengan penyelenggaraan Pemilu, bahkan menurut kubu 02 kecurangan terjadi secara masif termasuk yang terjadi pada pemilu di Luar Negeri.
Selain itu ijtima’ Ulama juga dinilai provokatif dengan mengeluarkan rekomendasi yang salah satu isinya adalah didiskualifikasinya paslon Jokowi – Ma’ruf Amin. Hal tersebut tentu berlebihan dan menandakan bahwa kubu 02 takut kalah, padahal sudah diberitahukan bahwa jika terdapat kecurangan, Pemerintah telah menyediakan mekanisme untuk melaporkan kecurangan Pemilu.
Tentu kita bertanya – tanya, baru 2 bulan mengucap janji sudah tidak ingat dengan janji yang pernah terucap di depan ketua KPU, bahkan media bisa saja memutar lagi janji sumpah yang mereka ucapkan beberapa bulan yang lalu.
Jika mereka tidak percaya dengan pemilu, lantas mengapa mereka masih ikut dalam Pemilu, berkampanye dan mengirimkan saksi di setiap TPS.
Mereka juga telah mengatakan bahwa pemilu lancar, tertib dan aman, kita tinggal menunggu hasilnya,” dengan pernyataan demikian, artinya mereka semestinya mengakui bahwa penyelenggaraan pemilu oleh lembaga independen yaitu KPU.
Namun setelah hasil penghitungan real count oleh KPU tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, berbagai nada sumbang semakin keras ditiup termasuk kepada para KPPS, mereka menyatakan bahwa pemilu kurang adil, banyak terjadi manipulasi, bahkan lembaga survey pun juga ikut disalahkan dengan menuduh bahwa mereka telah memanipulasi sampel.
Padahal mantan ketua MK Mahfud MD, menyebutkan bahwa dari 101 kesalahan itu, 24 diantaranya merupakan laporan dari masyarakat yang selebihnya ditemukan oleh KPU sendiri, dikoreksi sendiri karena ditemukan sendiri dimana masyarakat tidak tahu.
“Laporan masyarakat itu hanya 24. Dari situ kekeliruan itu berarti hanya ada 0.0004 %. Berarti ada satu di dalam 2500 TPS dari situ menjadi sangat tidak mungkin kalau mau ada rekayasa terstruktur mestinya berpersen – persen, ini Cuma 1 per 2500, ndak mungkin ada kesengajaan,” tutur Mahfud.
Tentu kita dikagetkan dengan tuduhan tersebut, karena hasil Pemilu belum selesai dihitung, baru sekitar 60 persen yang masuk, bagaimana jika ternyata sisa penghitungan tersebut memenangkan mereka, apakah mereka tetap menuduh KPU curang, tidak adil, atau memihak kubu 01, atau justru hasil survei internal merekalah yang mengada – ada, karena mereka tidak pernah menunjukkan metode survei yang dilakukan kepada publik.
Jika memang mereka tidak puas dengan hasil dari KPU, tentu mereka bisa menggunakan saluran aduannya melalui mekanisme yang sudah disediakan, yaitu melalui Bawaslu, MK dan Pengadilan, jika masih tidak puas silakan bentuk KPU Swasta dan pemilu sendiri yang dikuti oleh anak, cucu, ponakan, kerabat dan simpatisan parpol yang memberikan dukungannya, sudah pasti kemenangan akan diraih dengan torehan lebih dari 90 persen suara, dan tidak perlu menggunakan survey internal.