Oleh : Karina Angguni (Pemerhati Politik)
Beberapa tahun silam, pemerintahan di bawah kepemimpinan Joko Widodo telah menghapus keberadaan organisasi masyarakat (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pembubaran ini dilakukan karena visi dan misi HTI dinilai bertentangan dengan landasan dasar negara.
Presiden Jokowi juga pernah menyampaikan bahwa pembubaran ormas HTI bukanlah tindakan yang sewenang–wenang, pembubaran tersebut juga didasari oleh pengamatan yang cukup lama.
Baca Juga
“Pemerintah mengkaji lama, telah mengalami dan juga masukan dari banyak kalangan dari para ulama dan masyarakat.” Tutur Jokowi.
Pencabutan tersebut dilakukan sebagai tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan.
Meski AD/ART HTI berlandaskan pada Pancasila, namun dalam fakta di lapangan, kegiatan dan aktifitas HTI banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan jiwa NKRI.
Hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa Jokowi serius dalam memerangi radikalisme di Indonesia dan upaya konkritnya dalam menjaga ideologi Pancasila.
Selain itu Jokowi juga berperan dalam pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hal ini menyusul keputusan Presiden Jokowi yang menyetarakan unit kerja tersebut agar setara dengan kementrian.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Mahfud MD menjelaskan latar belakang terbentuknya BPIP. Menurutnya, BPIP dibentuk karena adanya ancaman terhadap ideologi Pancasila.
Menurut Mahfud, ancaman itu adalah gerakan–gerakan radikal yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Hal ini didasari dari hasil survei yang menyebut bahwa 9 persen rakyat Indonesia tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Menurutnya, meski hanya 9 persen, itu dapat merusak negara.
“Hasil survei 9 persen rakyat Indonesia itu tidak setuju dengan ideologi Pancasila. Kecil sih, tapi 9 persen dari 250 juta tuh berapa, kira- kira 25 juta kan. Kalau itu berteriak semua menggunakan media sosial, rusak negara ini,” tukas Mahfud.
Menurut Mahfud, jumlah tersebut berkembang karena masih ada orang yang tidak tahu nilai Pancasila. Untuk mengatasi hal tersebut, dibentuklah BPIP sebagai unit yang membantu presiden terkait ideologi.
Keberadaan BPIP juga mendapatkan respon positif dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, pihaknya menganggap bahwa keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tersebut sangat diperlukan untuk menangkal ancaman radikalisme yang merongrong bangsa.
Pihaknya juga menjelaskan, bahwa BPIP merupakan lembaga strategis yang dianggap mampu melakukan pengarusutamaan ideologi Pancasila kepada masyarakat melalui upaya sosialisasi.
Artinya apabila ada paham radikal yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara maka kita harus lawan. Hal ini sudah final pada 1 Maret 1945 saat sidang BPUPKI, pidato Presiden Soekarno 1 Juni dan pada tanggal 22 Juni 1945 ditetapkanlah ideologi negara kita yakni Pancasila melalui piagam Jakarta, oleh karena itulah ideologi Pancasila haruslah dijaga.
Tentunya komitmen Jokowi untuk menjaga ideologi Pancasila tak perlu diragukan lagi. Pembubaran HTI merupakan bukti nyata ketegasan Jokowi terhadap pihak yang mengancam ideologi Pancasila.
Lantas bagaimana dengan aksi dari berbagai ormas menjelang Pemilu 2019, mereka yang bercita – cita menggaungkan khilafah, nyatanya memberikan dukungan dengan melontarkan tagar #2019GantiPresiden.
Gerakan mereka saat ini begitu masif dan aktif, dijalanan dan di dunia maya, mereka ganas berteriak ganti Presiden, padahal nyatanya mereka memiliki misi ‘NKRI Bersyariah’ yang bisa mengancam persatuan di Indonesia.
Masyarakat tentu telah mengetahui berbagai rekam jejak FPI yang terkadang menjadi biang keladi keresahan di masyarakat.
Lantas kita tentu mendapatkan sebuah tanda tanya besar, mengapa ormas konservatif seperti FPI berada di belakang Prabowo untuk memenangkan kontestasi politik 17 April mendatang?
Mungkinkah hal ini ada kaitannya dengan gerakan 212 yang saat itu berhasil menjebloskan Ahok ke dalam penjara? Berbagai pertanyaan itu tentu akan memunculkan berbagai asumsi dan menimbulkan pertanyaan baru yang membutuhkan banyak referensi.
Dalam memilih pemimpin, tentu haruslah pemimpin yang mau menjaga dan merawat ideologi Pancasila, dengan keberagaman yang ada di Indonesia, tentu sikap radikalisme dan intoleransi tidak boleh tumbuh subur di negara yang bhineka.
Melindungi Pancasila artinya sama saja dengan melindungi negeri kita sendiri, lantas jika ada ormas yang anti terhadap Pancasila kok berada di balik calon Presiden, tentu wajar jika muncul pertanyaan, seberapa Pancasilakah sosok Prabowo Subianto, kita tunggu jawabannya pada debat ke-4.