Oleh : Lilis Paramita
Pemilu merupakan wujud dari sebuah negara untuk menunjukkan eksistensinya dalam sistem demokrasi dalam rangka mencari pemimpin pilihan rakyat. Namun pemilu kali ini juga mendapatkan sorotan dari beberapa ormas Islam konservatif yang memiliki cita – cita untuk mendirikan khilafah di Indonesia. Hal tersebut tentu cukup mengganggu ketentraman masyarakat secara luas, apalagi paham radikalisme juga dapat menyebar cepat melalui sosial media. Berbagai fitnah dan kutipan ayat disuarakan beberapa golongan demi memenangkan kontes demokrasi pada Pemilu April 2019 mendatang.
Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan bahwa kelompok radikal maupun eks teroris dapat beraksi dan tumbuh subur diantara euforia pemilu. Wilayah seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Papua adalah tempat – tempat strategis untuk melahirkan sel radikalisme.
Baca Juga
“Konsentrasi jajaran kepolisian untuk mengamankan pemilu sepertinya membuat kelompok radikal dan eks teroris mendapat celah untuk tumbuh dan berkembang,” tutur Presidium IPW, Neta S Pane.
Pihaknya menyebut rentetan pembakaran mobil di Jawa Tengah dan penembakan yang terus terjadi di Papua merupakan gambaran kelompok radikal mendapatkan peluang untuk beraksi. Kelompok radikal, kata dia, bermain di antara euforia dan dinamika politik yang kian panas. Bahkan bukan tidak mungkin, menurut Neta, kelompok – kelompok Radikal menyusup di balik bendera partai politik yang memiliki pola pikir pragmati. Berupaya mengikis Bhineka Tunggal Ika hanya untuk dukungan dan elektabilitas.
“Konsesi yang diberikan partai politik tersebut akan menimbulkan benturan dalam masyarakat. Jika hal tersebut terjadi, kelompok radikal dan eks teroris akan semakin mendapat celah untuk beraksi” Tuturnya.
“Bagaimanapun Pileg dan Pilpres 2019 bukanlah tujuan akhir bangsa ini. Negeri yang aman dan saling menghargai dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika adalah harapan bangsa ini sejak awal kemerdekaan,” imbuhnya.
Tentu menjaga perdamaian menjelang maupun saat kontestasi pemilu merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab aparat keamanan, karena sejatinya kedamaian sebuah wilayah dimulai dari diri sendiri.
Pada kesempatan berbeda, Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor) Yaqut Cholil Koumas menyebut, terdapat kelompok radikal yang menginduk pada salah satu pasangan calon presiden. Menurut dia, kelompok radikal itu menyusupi agenda kepentingan mereka untuk mendirikan negara Islam.
“Mereka bukan merusak pemilu, tapi menginduk pada satu kontestasi, memasukkan agenda – agenda mereka, mendirikan negara Islam, khilafah islamiah atau NKRI bersyariat,” tutur Yaqut.
Dirinya mengklaim kelompok radikal tersebut ditemukan di sejumlah daerah, seperti Jawa Barat dan Riau. Sejumlah hal uang dilaporkan ke presiden, yakni kelompok radikal yang ingin mendirikan negara selain Islam dan beberapa pejabat BUMN dan ASN yang sudah disisipi paham radikal.
Hal ini senada dengan penuturan yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo yang menilai suasana pesta demokrasi saat ini belum damai karena sejumlah ancaman radikalisme, intoleransi dan terorisme. Dia pun meminta masyarakat mampun mendeteksi ancaman tersebut.
“Harapan kami, pemilu ini damai, aman, penuh kegembiraan tanpa ada gerakan yang bisa mengganggu pemilu dan menimbulkan keretakan sosial,” tutur Karyono
Salah satu ancaman pada pemilu saat ini adalah politik identitas yang mengedepankan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Bahkan, selama memasuki masa kampanye, ruang publik telah diisi ujaran kebencian dan hoaks.
Faizal Assegaf selaku Ketua Progres 98 menyebutkan bahwa radikalisme telah muncul sejak Pilkada DKI Jakarta pada 2016 lalu, yaitu pada aksi 212. Mereka mendesak bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ditunggangi oleh ormas Hizbut Tahrir Indonesian (HTI) yang saat ini telah dibubarkan. Gerakan – gerakan intoleran, radikalisme, paham khilafah juga turut menumpang dalam proses pemilu. Kita juga seringkali melihat masih ada bendera HTI berkibar dalam proses pemilu April 2019. Hal ini tentu cukup mengkahwatirkan, dan jangan sampai hal tersebut mengganggu proses penyelenggaraan pemilu.
Pemilu damai haruslah diisi dengan tawaran program – program yang membangun optimisme membangun bangsa, bukan dengan provokasi bernuansa radikalisasi demi eksistensi duniawi. Pada hakikatnya pemilu tidak bertujuan untuk mengubah haluan ideologi negara, namun pemilu juga bertujuan untuk mencari pemimpin yang dapat memegang prinsip Pancasila.
Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik