Perhelatan Pileg dan Pilpres 17 April 2019 telah usai, namun suhu politik di Indonesia sampai tiga belas hari pasca-Pilpres masih panas. Saling klaim kemenangan antara BPN (Badan Pemenangan Nasional) Prabowo-Sandi dan TKN (Tim Kampanye Nasional) Joko Widodo-KH Maruf Amin membuat hasil Pilpres seperti bola liar.
Tim sukses kedua belah pihak pun membuat suasana makin panas dengan menyebarkan informasi yang belum tentu benar dan kadang mengandung unsur hasutan (provokatif). Ditambah lagi masifnya penyebaran hoax yang tidak terbendung. Setiap hari hoax, propaganda, provokasi dan sebagainya menjadi bagian yang dianggap jamak terjadi di tengah masyarakat kita.
The Islah Centre, lembaga yang fokus dalam rekonsiliasi konflik dan terorisme menilai, stagnansi komunikasi antarelit politik, tokoh dan ulama pendukung Paslon 01 dan Paslon 02 harus segera dicairkan.
Baca Juga
Pasalnya, jika terus dibiarkan, hal itu bisa merusak tatanan moral dan tatanan sosial dalam berbangsa dan bernegara, di samping membuat masyarakat kita saling curiga dan saling tidak percaya satu sama lain.
“Yang lebih parah dari itu, bisa saja menimbulkan konflik sosial di tengah masyarakat dan menghancurkan tatanan kebangsaan yang selama ini sudah sama-sama kita rawat,” ungkap Mujahidin Nur, Direktur The Islah Centre.
Mujahidin menduga, masifnya penyebaran hoax baik pra maupun pasca-Pilpres di Indonesia karena ada pihak ketiga (negara tertentu) yang bermain dan ingin mencerai beraikan persatuan, mengadu domba dan membuat rakyat Indonesia terus berpolemik dan berkonflik. Menurutnya, terjadi peningkatan hoax yang sangat tajam. Mengacu data Kementerian Kominfo, sejak Agustus hingga 25 April lalu, teridentifikasi sebanyak 1.645 konten hoax tersebar di masyarakat.
Dalam peperangan gaya baru atau biasa dikenal dengan perang asimetris, jelas Mujahidin, negara-negara tertentu yang ingin menghancurkan Indonesia bisa saja memakai hoax agar masyarakat Indonesia saling mencurigai dan menghasut satu sama lain, sehingga terjadi konflik internal sesama anak bangsa. Karenanya Mujahidin menghimbau agar masyarakat memfilter terlebih dahulu setiap berita atau informasi yang mereka terima, karena peran media sosial sebagai alat penyebaran opini negatif dan hoax sangat membahayakan.
“Untuk menghancurkan persatuan kita negara-negara tertentu yang tidak suka kita bersatu bisa saja menggelontorkan cash for fakes yang besar, mereka mendanai penyebaran hoax, kegiatan penyamaran menjadi grass root paslon presiden 01 dan 02, menyembunyikan identitas asli mereka, dan setiap hari memproduksi fitnah dan kebohongan dengan ribuan email dan account media sosial palsu yang mereka buat untuk menciptakan apa yang disebut social media mayhem (kekacauan sosial media) untuk membenturkan pendukung Capres 01 dan 02. Ini saya duga juga mereka lakukan di Indonesia,” jelasnya.
Karenanya, Mujahidin meminta Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, para elit politik, tokoh pendukung dan para ulama dan ustadz yang pada saat Pilpres lalu memberikan dukungan dalam kontestasi Pilpres untuk secepatnya melakukan rekonsiliasi dan mencairkan tensi politik yang memanas dan tidak sehat ini. Mujahidin Nur juga mengusulkan agar kedua pihak mencari jalan tengah untuk menyatukan kembali masyarakat yang sudah terfragmentasi (fragmented society) tanpa mengabaikan berbagai permasalahan Pilpres yang masih berjalan. Caranya, dengan menyelesaikan semuanya melalui jalur konstitusional.
“Dan ini tidak akan bisa dilakukan kalau elit-elit kita belum melakukan rekonsiliasi. Maksud rekonsiliasi di sini adalah memulihkan hubungan menjadi kembali normal antara kedua pasang kandidat, tim sukses, simpatisan dan masyarakat luas setelah proses politik yang membelah masyarakat beberapa bulan terakhir. Semua perseteruan, konflik, pertikaian harus diselesaikan dalam sebuah rekonsiliasi nasional apalagi kita akan menyambut bulan suci Ramadan yang membutuhkan suasan khusyuk dan khidmat dalam menjalankan ibadah di dalamnya,” tandas Mujahidin.
Apabila fragmentasi masyarakat karena perbedaan dukungan politik ini tidak secepatnya diselesaikan, lanjut Mujahidin, efeknya pemerintah akan terhambat dalam menyelesaikan agenda-agenda strategis bangsa. Yang lebih mengkhawatirkan, bisa saja timbul konflik horizontal di tengah masyarakat dan itu yang diharapkan oleh negara-negara asing yang ‘bermain’ di Pilpres 2019 ini.
Pria asal Indramayu ini menjelaskan, bagi kelompok radikal, fragmentasi masyarakat karena perbedaan dukungan politik juga sangat menguntungkan bagi mereka. Dalam kondisi seperti ini berdasarkan pengalaman di negara-negara timur tengah yang dilanda Arab Springs, jelasnya, biasanya kelompok radikal akan menunggangi kelompok yang merasa tidak puas dengan hasil demokrasi untuk melakukan balas dendam atau perlawanan terhadap pemerintah baik melalui demonstrasi maupun teror.
Kelompok radikal juga bisa saja menarik semaksimal mungkin masyarakat yang mempunyai kemiripan ideologi dengan mereka dan tidak puas dengan hasil demokrasi untuk digerakkan demi tujuan mereka.
Di samping itu, kelompok radikal juga akan terus menjaga “luka demokrasi” untuk membangun fondasi ideologi dan fondasi konflik berkepanjangan antara masyarakat dengan pemerintah.
“Dan ini terjadi di negara-negara Arab dalam Arab Springs yang menyebabkan kehancuran dunia Islam di sana. Kita semua harus ingat, kelompok radikal akan berkoalisi dengan siapa saja yang bisa mendekatkan mereka dengan kekuasaan, dan tentu hal itu harus sama-sama kita antisipasi,” tegasnya.