Oleh : Anwar Ibrahim (Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar)
Para Elite politik di Indonesia saat ini kerap memperdebatkan ‘politisasi agama’ saat memasuki masa pemilihan umum (Pemilu). Politisasi agama seringkali dianggap negatif, lantas apa makna yang sebenarnya?
Menurut Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, agama Islam mengatur seluruh sendi kehidupan, tak terkecuali politik. Namun akhir – akhir ini, politisasi agama dikhawatirkan bisa memeceh belah bangsa.
Baca Juga
“Dalam Islam, ke WC pun diatur, apalagi urusan mengatur masyarakat (politik). Tapi persoalannya bagaimana sekarang mengaturnya,” ujarnya.
Pihaknya memberikan penjelasan bahwasanya politisasi agama sangat diperlukan untuk memberikan kesejah teraan bagi seluruh rakyat tanpa memandang golongan. Pihaknya memberikan contoh dengan pemikiran sosok Pendiri KH Ahmad Dahlan.
“Dalam Kongres Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mengatakan bahwa memimpin kehidupan harus dengan metode Al Qur’an.
Yaitu bahwa manusia seluruhnya harus bersatu hati agar bisa hidup bersama di dunia dengan penuh damai sejahtera. Meski memiliki bangsa berbeda, sesungguhnya satu darah satu daging karena keturunan Nabi Adam,” Ungkapnya.
Tak jauh berbeda dengan itu, KH Hasyim Asy’ari pernah menuturkan bahwa politisasi agama dapat menimbulkan perpecahan apabila pemimpin tidak mendahulukan kepentingan publik di atas kepentingan golongan.
“Perpecahan antarmanusia merupakan bahaya besar yang disebabkan oleh kebekuan hati, meski berpendidikan tinggi, akibat para pemimpin gagal mendahulukan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua manusia bukan hanya bagi golongan dan kelompoknya sendiri.
Pihaknya juga menambahkan bahwa agama itu pada mulanya bercahaya, lalu suram akibat dari pemeluknya sendiri. Karena itu pemeluk agama harus mengikuti akal pikiran yang suci, membuka diri, menambah ilmu dan bertindak berdasarkan ilmu dan hati yang suci.
Berkaca pada sejarah, politisasi agama yang pertama kali ialah saat resolusi jihad pada Oktober 1945 untuk mendorong pemuda muslimin berjihad mempertahankan tanah air melawan sekutu. Pada saat itu politisasi agama adalah sebuah keharusan.
Namun pihaknya juga tidak menampik bahwa saat ini, utamanya menjelang pemilu, ayat – ayat yang ada pada kitab suci kerap disalahgunakan hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.
Daud Gerung selaku Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Jakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga menuturkan bahwa politisasi agama merupakan hal yang tidak dibenarkan.
Pihaknya selalu mengedepankan persatuan, kesatuan sebagai anak bangsa. Pihaknya juga mengatakan bahwa doktrin yang palingg berat, utamanya itu yang mereka lakukan dengan tawaran Islam cepat dan gimana cara masuk surga dengan cepat.
Menyikapi hal ini tentu salah satu hal yang wajib diperhatikan adalah penggunaan simbol – simbol agama demi kepentingan jangka pendek para peserta kontes demokrasi baik legislatif maupun presiden.
“Politisasi Agama merupakan salah satu isu yang harus mendapatkan perhatian kita bersama. Kami berharap jangan sampai para calon anggota legislatif maupun calon presiden sengaja menggunakan isu – isu agama untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek,” tutur pengamat politik Islam, Nurruzaman.
Dirinya juga menjelaskan, bahwa selama pelaksanaan Pilkada Serentak 2018, tidak sedikit kasus penggunaan simbol agama yang bertujuan untuk memenangkan pasangan calon kepala daerah. Tim pemenangan sengaja menggunakan ayat – ayat dalam kitab suci untuk mendukung calon mereka dan mendiskreditkan para calon / kandidat yang lain.
Meski isu agama pernah dilakukan pada Pilkada Jakarta yang dinilai berhasil, hal itu belum tentu efektif jika dilakukan di daerah yang relatif menggunakan isu sentimen agama terbukti gagal.
Tentunya hubungan antara agama dan politik adalah perdebatan klasik yang tak kunjung usai, entah sampai kapan. Karena nyatanya di Indonesia dosis agama akan menguat pada setiap saat menjelang kontestasi untuk merebut jabatan – jabatan politik.
Yang menjadi masalah bukan pada segi penyaluran aspirasi politiknya, namun pada saat agama digunakan sebagai kendaraan kampanye, tentu hal ini dapat mengancam persatuan umat yang secara faktual tidak terfokus pada kandidat tertentu. Semua kandidat / paslon memiliki pendukung dari kalangan umat.
Klaim salah satu pasangan calon selain mengandung unsur kebohongan, juga akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada agama sebagai alat pemersatu.
Tentunya kita tidak bisa mengelak bahwa negara Indonesia lahir dengan landasan keagamaan yang kuat. Tetapi harus disadari pula, republik ini juga lahir karena kuatnya semangat kebersamaan dari berbagai unsur yang ada di nusantara, yakni Suku, Agama, Ras dan Ragam Budaya. Apabila salah satu unsur tersebut menonjol, tentu akan menumbuhkan kecemburuan dan sentimen yang negatif.
Tidak sedikit kalangan yang berpersepsi bahwa siapapun yang menolak politisasi agama merupakan manifestasi dari islamophobia atau sebagai ekspresi dari ketidaksukaan pada ajaran Islam. Persepsi ini jelas tidak benar. Menolak politisasi agama justru merupakan salah satu pemuliaan terhadap nilai – nilai ajaran agama.
Dalam berkehidupan, agama harus kita jadikan pedoman dalam merajut kebersamaan, bukan sebaliknya. Agama harus menjadi fondasi sikap semua pejabat negara, bukan malah mencuplik ayat suci demi meraih suara dan mendiskreditkan kandidat lain.
Maka dari itu, segala bentuk politisasi agama tentu harus menjadi kewaspadaan tersendiri bagi seluruh elemen masyarakat, sudah saatnya agama menjadi sarana yang meneduhkan, bukan menambah percikan api kebencian kepada sesama manusia hanya karena pilihannya berbeda.