Reuni 212 Kental Nuansa Politis
Oleh : Zainudin Zidan
Reuni 212 yang akan digelar oleh Persaudaraan Alumni (PA) 212 terkesan dipaksakan karena ngotot diadakan di masa pandemi Covid-19. Seperti halnya yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya, aksi tersebut akan kental nuansa politis hingga provokasi untuk menyudutkan Pemerintah.
Pada tanggal 2 Desember Tugu Monas biasanya dipenuhi oleh orang-orang yang menggelar aksi, aksi tersebut bisa berisi orasi, kritik pemerintah dakwah dan tidak menutup kemungkinan kampanye politik juga dilaksanakan.
Acara tersebut adalah Reuni 212 yang rencananya akan dilaksanakan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam Persaudaraan AlumnI (PA) 212. Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan Reuni 212 memang boleh digelar sebab Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi.
Meski demikian, Ujang menilai bahwa Reuni 212 merupakan gerakan politis. Ia juga memprediksi bahwa acara tersebut juga akan membahas terkait dengan pemilihan presiden 2024. Pada awal Desember nanti, PA 212 berencana melakukan kegiatan Reuni 212. Wakil Sekretaris Jenderal PA 212, Novel Bamukmin mengatakan tema yang akan digelar adalah bebaskan Habib Rizieq Shihab (HRS).
Pada kesempatan berbeda, Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, meminta acara reuni 212 ditunda pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan masih dalam situasi pandemi Covid-19. Dirinya juga meminta kesadaran panitia Reuni 212 untuk mempertimbangkan lagi acara tersebut. Ia juga mengajak kepada setiap elemen masyarakat untuk bisa mengambil bagian dalam upaya mengendalikan penyebaran covid-19.
Sebelumnya, Riza juga mengingatkan kepada panitia Reuni 212 bahwa Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, belum dibuka untuk umum. Pihaknya juga menghormati siapapun yang akan menggunakan fasilitas dan tempat di DKI Jakarta. Namun dia meminta untuk tetap perlu memperhatikan aturan uang ada dan berlaku.
Menurut Riza, pelanggaran kegiatan masyarakat saja sudah berpotensi besar terjadi penularan Covid-19. Apalagi, dengan adanya kegiatan yang menciptakan kerumunan dalam jumlah besar.
Pada Reuni 212 tahun 2018 lalu, orasi terkait 2019 ganti presiden terus bergelora, alih-alih menjaga ukhuwah, tetapi kesan politis justru merusak marwah dari gerakan tersebut. Cendekiawan Muslim Alwi Shihab mengatakan sejumlah elite politik dalam gerakan reuni 212 saat itu berusaha menggerakkan masyarakat ekonomi kelas menengah dan bawah untuk menggulingkan pemerintah dengan cara-cara serupa yang digunakan organisasi seperti Hizbut Tahrir di Suriah.
Salah satu strategi yang digunakan adalah, menggaet para pemimpin agama, termasuk para habib, untuk meyakinkan masyarakat bahwa gerakan tersebut berdasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam. Pemimpin agama dinilai memiliki loyalis yang siap patuh terhadap apapun perintahnya, termasuk perintah untuk membenci lawan politik.
Pemerintah memang membutuhkan kritikan sebagai penyeimbang, namun bukan berarti gerakan yang rencananya akan melibatkan jutaan umat muslim tersebut digunakan sebagai alat untuk mengumpat dan mengatakan sumpah serapah terhadap pemerintah, hal tersebut tentu tidak berfaedah sama sekali.
Tentu patut disayangkan apabila acara Reuni 212 dikotori oleh kampanye demi kepentingan politik tertentu. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto mengatakan bahwa semestinya gerakan 212 dijaga substansinya, sehingga reuni 212 sudah seharusnya diisi dengan kegiatan ibadah dan jauh dari politik praktis.
Pada kesempatan berbeda Politisi PSI Muannas Alaidid merasa heran dengan kelompok Persaudaraan Alumni 212 yang ngotot menggelar reuni di Monas pada 2 Desember 2021 mendatang kendati kondisi Jakarta sekarang ini masih dikepung Covid-19.
Ia juga merasa heran karena tujuan kelompok tersebut untuk mengantarkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok ketika dirinya tersandung kasus penistaan agama sudah terpenuhi, tetapi mereka justru ingin menggelar acara bertajuk reuni. Ia juga mengendus akan banyaknya agenda terselubung dari acara reuni tersebut, agenda terselubung yang ia maksud jelas merupakan agenda yang bermuatan politik.
Perlu kita ketahui juga bahwa Protes yang dilancarkan pada tahun 2016 lalu tidak hanya menyebabkan jatuhnya sosok minoritas populer dalam politik Indonesia tetapi juga menghasilkan perselisihan sektarian baru di seluruh negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ini. Hasilnya intoleransi di Indonesia meningkat, bahkan Banser yang menjaga Gereja saja mendapatkan kritikan.
Reuni 212 rupanya tidak hanya berisi tabligh akbar, melainkan juga ajakan untuk membenci kelompok tertentu yang tujuannya adalah mendukung kemenangan pemilu.
Tentunya perlu dipikirkan kembali untuk menggelar reuni 212 yang minim urgensi di tengah pandemi Covid-19. Jangan sampai nuansa politis pada acara tersebut justru membuat Indonesia semakin runyam.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat dalam melawan penyebaran narkoba yang merusak generasi bangsa.…
Jakarta - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmen kuatnya dalam memberantas peredaran narkoba di…
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, UMKM menjadi salah satu pilar utama dalam upaya percepatan…
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…