Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang perdana sengketa/perselisihan hasil pemilu (PHPU). Adapun jumlah sementara permohonan PHPU Tahun 2024 per Minggu (24/3/2024) pukul 15.30 WIB ialah 265 perkara. Jumlah ini sedikit lebih banyak dari permohonan PHPU Tahun 2019 yakni 262 perkara
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengatakan, jumlah permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024, baik PHPU Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) maupun maupun PHPU Anggota Legislatif, lebih banyak dibandingkan PHPU Tahun 2019.
Menjelang sidang PHPU di MK, Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan ada sejumlah hal yang perlu didefinisikan sebagai bentuk kecurangan.
Baca Juga
“Pertama kecurangan yang sangat jelas didepan mata itu biasanya kecurangan pemilu itu adalah terkait dengan perubahan data. Jadi setiap tahapan itu ada bentuk kecurangan seperti pelanggaran pidana Pemilu, dan juga pelanggaran administrasi. Nah itu bentuk-bentuk kecurangan seperti itu,” ujar Ramdansyah, saat dialog di Radio Elshinta, Minggu malam (24/3/2024).
“Untuk pelanggaran administrasi itu kemudian diselesaikan oleh Bawaslu. Kemudian Bawaslu membuat misalkan teguran tidak boleh peserta Pemilu mengikuti a tahapan berikutnya,” imbuh Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta.
Kemudian jelas Ramdansyah, pelanggaran yang tidak boleh bahkan kemudian bisa dibatalkan apabila kemudian terkait politik.
“Nah ini pelanggaran ringan atau administrasi misalkan tidak melapor kegiatan kampanye terbatas kepada polisi atau kemudian Bawaslu . Nah itu yang sangat ringan, pelanggaran yang terberat itu money politik atau kemudian kecurangan-kecurangan yang struktural dilakukan oleh pemerintah daerah atau ASN. Kadang pelanggaran seperti ini disebutnya TSM (terstruktur, sistematis dan masif),” ujar Ramdansyah.
“Adapun kecurangan TSM itu adalah pelanggaran yang bisa dilakukan oleh pemerintah, penyelenggara KPU, maupun antara KPU dan peserta pemilu. Nah ini kemudian yang sering kali diminta kepada hakim MK untuk membatalkan SK KPU terhadap Caleg terpilih apabila pelanggarannya terstruktur, sistematis dan masif,” imbuh Ramdansyah.
Tapi kemudian jelas Ramdansyah, kalau pelanggaran hanya salah hitung, salah ketik, misalnya jumlah diperbaiki, itu kemudian tidak bisa kemudian disebutkan kecurangan terstruktur, sistematis dan massif.
“Karena, kalau human erros, maka sudah diselesaikan di tingkat bawah. Koreksi dilakukan di tingkat TPS kemudian tingkat kecamatan atau PPK dan berjenjang terus sampai kemudian ditingkat KPU RI,” ujar Ramdansyah.
Ketika ditanya tentang jumlah permohonan PHPU Tahun 2024 per Minggu (24/3/2024) pukul 15.30 WIB yang mencapai 265 perkara, Ramdansyah ditanya tentang laporan pelanggaran atau kecurangan terjadi antar caleg yang dilaporkan ke MK apakah dimungkinkan?
“Sangat memungkinkan. Tapi persoalannya dalam undang-undang pemilu menyebutkan, ada sidang yang namanya tahap permulaan, pemeriksaan berkas, kelengkapan dokumen. Pertama kali yang akan diperiksa itu terkait dengan apakah permohonan itu sudah mendapatkan tanda tangan dari Ketua umum dan sekretaris jenderal dari partai tersebut. Kalau pelanggaran di internal partai itu agak kesulitan mendapatkan persetujuan karena boroknya partai itu kan tidak mau diketahui oleh orang atau publik yang lebih luas,” ujar Ramdansyah
“Dalam buku yang saya tulis, Sisi Gelap Pemilu, saya menulis itu ketika ada kejadian dilakukan oleh salah seorang terduga memindahkan suara partai kepada suara dirinya. Dia nomor urut dua supaya nanti Kalau nomor urut satu jadi menteri karena ketua umum partainya menjadi presiden, maka otomatis dengan suara terbanyak nomor urut dua, maka dia akan mendapatkan jatah pergantian antar waktu atau PAW dari kursi yang pertama.”
Ketika ditanyakan tentang pemberian suara partai kepada Caleg Ramdansyah berkomentar sebagai berikut, “bentuk pemindahan suara dari partai ke Caleg atau sebaliknya, itu sudah dilarang. Dan kalau itu dilakukan, maka menjadi tindak pidana pemilu. Kalau ketahuan potensinya itu dibatalkan sebagai peserta pemilu, kalau pemilu legislatif, maka yang dibatalkan itu calegnya,” imbuh Ramdansyah.
Ramdansyah menegaskan, antar caleg belum tentu dapat izin dari ketua umum dan sekjen untuk berperkara di MK. Biasanya yang diperkenankan itu adalah antar partai misalkan partai x dan y. Kemudian selisih nya tidak begitu jauh, misalkan dibawah 100. Sehingga ketua umum dan sekjen memberikan izin.
“Tetapi itu perlakuan antar partai berbeda-beda, tergantung kepada kebijakan partai”
Ditanya apa mungkin juga di internal koalisi 01, atau 02 dan 03 saling gugat ke KPU. Misalkan PKS dengan PKB atau PKS PKB dengan Nasdem. Ramdansyah menjawab bahwa biasanya terkait dengan kursi partai itu tidak ada urusannya dengan calon presiden artinya Caleg dalam internal partai dalam koalisasi tetap bertarung lah di MK,” ujar Ramdansyah.