Oleh : Elfitra Rahmawati (Penulis adalah pengamat sosial politik)
Pengumuman resmi akan hasil rekapitulasi Pilpres telah dilaksanakan 21 Mei 2019, sudah berminggu – minggu pula Joko Widodo berhasil mengamankan jabatannya sebagai Presiden selama 5 tahun kedepan, dan untuk kedua kalinya ia berhasil mengalahkan Capres penantangnya Prabowo Subianto.
Namun harapan stabilitas politik pasca 17 April 2019 tampaknya masih sebatas harapan. Ujaran kebencian dan aksi klaim kemenangan hampir dilakukan oleh Prabowo di setiap harinya.
Baca Juga
Ketua Partai Gerindra tersebut memang sebelumnya pernah kalah dalam Pilpres 2014, dirinya dan Tim suksesnya telah mengklaim adanya kecurangan Pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif.
Darah para pengunjuk rasa tertumpah ketika sekian ribu simpatisan Prabowo – Sandiaga turun ke jalanan di Ibu Kota. Aksi yang semestinya selesai pada jam 18.00 akhirnya harus berlanjut sampai waktu sahur tiba.
Hanya karena sentimen politik dan tuduhan Pemilu curang, kerusuhan yang terjadi selama 2 hari tersebut dipenuhi aksi kekerasan yang mengakibatkan kematian 8 demonstran. Ratusan pengunjuk rasa terluka ketika Polisi menembakkan peluru karet, gas air mata dan meriam air kepada pengunjuk rasa yang melempari polisi dengan batu dan bom molotov. Sampai saat ini lebih dari 400 orang ditangkap karena ditengarai terlibat dalam kerusuhan tersebut.
Sampai saat ini kubu Prabowo telah mengklaim tentang kecurangan besar yang akan mempengaruhi hasil keseluruhan pemilu yang tampaknya tidak berdasar. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menolak keluhan para pendukung Prabowo tentang kecurangan dengan alasan tidak cukup bukti.
Dalam kesempatan berbeda Mahfud MD juga pernah mengatakan bahwa kecurangan pemilu tidak hanya terjadi pada saat ini. Kecurangan juga terjadi pada banyak Pemilu sebelumnya.
Dirinya juga mengatakan, bahwa kecurangan tidak hanya dilakukan oleh satu kandidat saja. Kecurangan dilakukan oleh semua kandidat.
“Pemilu sekarang ini sama, banyak kecurangan. Cuma bedanya apa? Pemilu yang dulu zaman Pak Harto kecurangannya sepihak, sekarang curang semua,” tutur Mahfud.
Meski demikian Mahfud menilai bahwa pemilu 2019 dari segi tertentu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pemilu zaman Orde Baru. Ia mengatakan hasil pemilu pada zaman Orba dikendalikan karena penyelenggara pemilu berasal dari unsur pemerintahan.
Sementara saat ini, ia mengatakan KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara pemilu dibentuk oleh partai politik. Sehingga pihaknya tidak percaya apabila KPU menjadi kaki tangan pemerintah.
Dirinya lantas menceritakan pengalamannya sebagai hakim MK, dimana saat itu ia pernah mengadili sejumlah sengketa pemilu, yakni Pilpres 2009 dan sejumlah Pilkada.
“Itu memang KPU-nya independen, tidak bisa dikendalikan pemerintah. Kalau sekarang ada pelanggaran dilakukan KPU, ya yang melanggar partai – partai itu, bukan pemerintah,” tuturnya.
Terkait dengan hal itu, pihaknya juga meminta agar semua pihak tidak membuat tudingan yang tidak tepat kepada KPU, misalnya dengan menuduh terjadinya kecurangan saat rekapitulasi. Ia berkata sulit terjadi kecurangan, rekapitulasi karena dilakukan secara manual.
Jika memang demikian, tentu para elite politik tidak boleh memaksa rakyat untuk melakukan people power, karena Indonesia adalah negara hukum.
Kasus terpanas yang sempat naik di permukaan adalah kasus peristiwa yang ada di Kuala Lumpur Malaysia, dimana pada salah satu ruko telah ditemukan puluhan kantong plastik berisikan kartu suara yang sudah dicoblos.
Pencoblosan liar tersebut seakan menjadi underground operational yang bertujuan untuk mendongkrak torehan suara untuk paslon dan caleg tertentu. Pasalnya coblosan terarah pada target paslon nomor 01 dan Caleg Partai Nasdem yang notabene merupakan putra Dubes RI di Negara Malaysia.
Namun setelah diselidiki, ternyata pelaku pencoblosan adalah pendukung fanatik kubu 02, dimana hal tersebut dilakukan sebagai upaya mendelegetimasi KPU secara masif dan sistematis.
Sebelumnya Mantan Ketua MPR Amien Rais sempat meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan audit secara forensik terhadap sistem IT KPU, untuk mencegah terjadinya kecurangan di Pemilu 2019.
Pihaknya juga mengecam dan berencana akan mendatangi kantor KPU untuk mengaudit forensik sistem teknologi informasi (TI) penghitungan suara Pilpres.
Namun hal tersebut ditepis oleh komisioner KPU Pramono Ubaid, dirinya menganggap bahwa usulan Dewan Pengarah BPN Prabowo – Sandiaga tersebut merupakan hal yang tidak relevan, pasalnya, hasil pemilu tidak ditentukan berdasarkan sistem IT, tetapi perhitungan manual di lapangan.
Berkaca pada sejumlah indikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peluang Prabowo-Sandiaga untuk membuktikan kecurangan Pilpres 2019 sangat tipis dan hampir dibilang tidak mungkin. Narasi kecurangan Pilpres yang selama ini disuarakan kubu 02 disinyalir hanya sebagai ungkapan kekecewaan karena kalah dalam Pemilu 2019. Oleh sebab itu, publik diharapkan untuk jeli dan tetap menahan diri dalam melihat dinamika politik yang berkembang, terutama menjelang sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi.