Oleh : Edi Jatmiko
Sejumlah pihak menilai penangkapan mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cacat prosedur. Kesalahan administrasi tersebut disebabkan tidak adanya persetujuan Dewan Pengawas sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang.
Kecurigaan demi kecurigaan mulai terlihat, khususnya bagi para pengamat. Beredarnya sprin lidik (surat perintah lidik) atas upaya penegakan hukum bagi terduga koruptor telah dimanipulasi. Status komisioner KPU RI kini telah ditetapkan sebagai tersangka mafia uang. Namun, OTT kali ini dinilai cacat prosedur.
Baca Juga
Keanehan dalam sprin lidik terkait penanganan perkara KPU yang dijabarkan sejumlah pihak meliputi empat hal. Yang diantaranya ialah;
Pertama, penerbitan surat Perintah Lidik masih berada dibawah kepemimpinan lama. Serta penanggalan surat perintah yang ditulis tangan membutuhkan pengecekkan terkait keabsahannya.
Kedua, pelaksanaan tindakan berkenaan dengan upaya penyegelan ruangan dan penggeledahan lokasi, dilakukan pada saat masih dalam penyelidikan,
Ketiga, pihak penyelidik urung menunjukkan secara terperinci surat perintah tugas maupun hal penyelidikan kepada pihak-pihak yang mereka curigai,
Kecurigaan keempat ialah, adanya permainan opini di media untuk menyamarkan kesalahan prosedur, maupun ketidakcukupan alat bukti. Ditambah lagi sikap meningginya arogansi penyelidik KPK.
Kejadian ini makin diperparah oleh adanya mal-administrasi perizinan yang mana tidak sesuai UU KPK yang baru. Bahwa tindakan terkait penggeledahan haruslah dengan izin Dewan Pengawas KPK, sementara pengeledahan yang diklaim oleh KPK kemarin tidak menyertakan izin tersebut.
Hal ini dibenarkan oleh Pimpinan PDI-P, Djarot Saiful Hidayat. Yang mengakui adanya upaya penggeledahan dari KPK. Namun, PDI-P menolaknya karena penggeledahan dinilai tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dia menyebutkan, penggeledahan di ruangan tersebut tidak dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu, tidak memenuhi prosedur karena tidak terdapat surat izin penggeledahan.
Sebelumnya, Pengamat politik dari Indonesian Publik Institute (IPI), Karyono Wibowo meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan klarifikasi perihal beredarnya surat perintah penyelidikan (Sprin.Lidik) OTT atas komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait kasus suap pengurusan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan.
Sprin lidik tersebut diduga tertuju kepada nama-nama penyidik KPK. Padahal, pada saat yang bersamaan komisioner dan Dewas KPK periode 2019 hingga 2023 telah resmi dilantik oleh Presiden Jokowi. Sprin lidik yang dimaksud Karyono terkait OTT Wahyu Setiawan tersebut bernomor 146/01/12/2019 yang mana sudah ditandatangani 20 Desember tahun 2010 silam oleh Agus Raharjo.
Karyono menilai, jika beredarnya surat tersebut benar maka hal itu bisa memicu berbagai persepsi negatif bagi lembaga anti rasuah. Bahkan, publik akan menafsirkan ada target lain di balik upaya penegakan hukum tersebut.
Di lain pihak, Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, juga menilai, ketika KPK menyasar target yang mempunyai pengaruh cukup besar, seringkali jalannya tidak mulus. Setidaknya terdapat dua faktor yang menjadi penyebab.
Misalnya informasi berkenaan dengan OTT secara parsial bocor sehingga antisipasi telah dilakukan. Selain itu, jejaring target cukup kuat sehingga mampu memanfaatkan berbagai akses guna menghalang-halangi upaya penegakan hukum KPK.
Hal ini berarti, KPK perlu kembali diperkuat melalui pembatalan UU No 19/2019. Karena, konsep Dewan Pengawas yang ada di dalam UU menambah panjang jalan birokrasi penegakan hukum KPK. Hal Inilah yang dianggap sebagai celah dan membuat kinerja KPK terhambat. Dirinya berharap jika kejanggalan-kejanggalan ini bukanlah sinyal KPK kini mulai tebang pilih saat melakukan upaya penindakan.
Kendati demikian, kasus OTT komisioner KPU ini memang wajib diproses karena sudah ada minimal dua alat bukti yang memberatkan tersangka. Karyono bahkan mewanti-wanti jangan sampai KPK bermanuver politik layaknya parpol, karena akan berpotensi cacat prosedur maupun cacat administrasi. Jika sudah demikian, lunturlah kepercayaan publik.
Sementara itu, pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta, menyatakan perlu adanya sejumlah evaluasi administrasi di KPK. Pasalnya, jika Surat Perintah Penyelidikan KPK yang terkait OTT komisioner KPU itu benar adanya maka prosedur administrasi semacam itu bisa dianggap mencari celah untuk meluluskan tujuan tertentu.
Menurutnya, pemberantasan kasus mafia atau korupsi itu harus dilakukan dan siapapun yang terlibat harus ditindak secara tegas tanpa kompromi. Namun, dalam penanganannya KPK perlu memandang aturan yang berlaku termasuk harus taat prosedur dan juga syarat administrasinya.
Dirinya berharap, jangan sampai pemberantasan korupsi ini mengalami intervensi karena adanya ketidaktertiban administrasi. Sebab, jika hal ini sampai terjadi, KPK bisa digugat melalui praperadilan yang dampaknya kontraproduktif bagi KPK sendiri.
Rentetan kasus dugaan kejanggalan sprin lidik melalui KPK ini menambah daftar hitam atas tidak profesionalnya kinerja lembaga anti rasuah tersebut. Padahal, pemerintah juga telah berupaya mendukung segala sepak terjang KPK untuk meringkus segala koruptor tanpa secuil kompromi-pun. Masih ada waktu untuk terus berbenah. Dan yang terpenting ialah klarifikasi pihak KPK sendiri terkait penerbitan Sprin Lidik yang diduga telah dimanipulasi. Agar, segalanya menjadi jelas dan transparan, serta tidak terkesan sedang membohongi publik.
Penulis adalah pengamat sosial politik