Pagi itu aku dan temanku (ongki) pergi dengan mengendarai sepeda motor menuju Universitas Islam Asyafiiah (UIA) Pondok Gede. Setibanya di lokasi kami pun tepat berada di sebuah gedung bercat putih tulang dan coklat, dalam sebuah ruangan di lantai 8. Hadir di UIA dalam rangka mengikuti seminar Nasional yang diselenggarakan pada hari Selasa, 18 Juli 2018. Bertemakan “Dialog Peran Media Jelang PilPres 2019” ini di bawakan oleh tokoh dan praktisi Media yang sudah berpengalaman yaitu;
Seiring waktu berlalu, sekilas aku teringat ucapan salah satu pembicara, Bapak Gungun di seminar UIA, beliau mengatakan bahwa peran media adalah sebagai “fact checker” yaitu menjadi pemeriksa fakta atau kebenaran. Hal ini menjelaskan bahwa kebenaran yang kita dapat (informasi) baik dari media cetak, online dan elektronik masih harus di verivikasi kembali. Ditambah dengan momen yang trend saat ini adalah pesta demokrasi antara 2 petahana yaitu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Maruf. Tentunya jadi perbincangan Netizen dan sejumlah tokoh seperti Fadhli Zon, Arief Budiman beserta para tokoh lainnya. Selain Banyaknya isu dari tokoh, terdapat pula informasi dari akun-akun media sosial yang belum jelas kebenarannya “unidentified“. Namun berisikan konten-konten yang pro dan kontra terhadap masing-masing petahana (nomor 1 & 2).
Menurut laporan DailySocial 2018 menyatakan berita hoax terbanyak ditemukan di Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sedangkan Riset masyarakat Telekomonikasi Indonesia atas surveinya pada 13 Februari 2017 menyatakan jenis HOAX yang sering diterima netizen adalah Sosial Politik sebesar 91.80% dan paling minim ialah isu Lalu Lintas sebesar 4%. KOMINFO juga mengidentifikasi terdapat 62 konten HOAX tersebar di situs internet dan media sosial terkait dengan PilPres 2019. Identifikasi tersebut menggunakan mesin AIS oleh Sub DitJen Pengendalian Konten Internet dan Aplikasi Informatika. Mesin AIS mengidentifikasi terdapat 18 Konten HOAX sepanjang bulan Desember 2018. Salah satu HOAX nya adalah Postingan dari akun “Moeslim Niaga” yang menyatakan adanya Simulasi orang gila dibawa ke TPS saat Pemilu. Kementrian KOMINFO pun bertindak dan mendapatkan data bahwa foto tersebut adalah kejadian di Bali saat orang tersebut membunuh dukun yang sedang mengobati dirinya. Sedangkan pengambilan fotonya adalah saat tersangka pembunuh di amankan petugas.
Kementrian KOMINFO juga menemukan terdapat 13 konten hoax pada November 2018, 12 konten hoax pada Oktober 2018, 8 konten hoax pada September 2018 dan 11 konten hoax pada Agustus 2018. Bahkan sampai bulan Februari ini perkembangan hoax kian marak jelang PilPres 2019. Namun pihak pemerintah tidak tinggal diam, mereka terus berupaya untuk membendung hoax di dunia maya. Nah karena faktanya Hoax itu tersebar secara masif dan cepat tentunya pemerintah perlu peran masyarakat dalam mengatasi hoax. Jadi kita sebagai netizen harus bisa berkontribusi cerdas dalam memerangi masifnya hoax pada pesta demokrasi ini, adapun jurus-jurus jitu hadapi hoax Diantaranya:
Selain media sebagai fact checker, Netizen juga harus menjadi fact checker yaitu orang yang selalu berusaha memeriksa kebenaran. Apakah informasi ini valid? sesuikah dengan kejadian di lapangan? Intinya Netizen Harus kritis terhadap fakta.
Check and recheck apakah judul tersebut sesuai dengan isinya. Biasanya pembuat berita hoax memberi judul yang provokatif. Sehinga netizen cepat menyimpulkan fakta berdasakan judul tersebut.
Ini sepele tapi berpengaruh besar, jadi setelah kita baca judul dan klik. Sangat harus untuk melihat waktu tayang berita baik tanggal, bulan dan tahunnya. Sehingga mengerti apakah berita ini adalah terkini atau berita masa lalu (basi).
Analisa web atau blog pertama adalah lihat tampilan webnya dari segi alamat dan lain sebagainya. Kedua, lihat komentar terhadap web apakah komentarnya adalah program sistem web atau memang benar merupakan komentar akun-akun publik yang jelas identitasnya ketika di klik nama komentarnya.
Nah coba netizen cek apakah informasi tersebut ada hal yang janggal. Biasanya informasi atau berita yang janggal cenderung menggunakan bahasa yang provokatif dan memasukan konten isu SARA (Suku, Agama & Ras). Karena dengan kebohongan berita lah dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat.
Netizen harus mampu mengamati apakah pemberitaan oleh media atau penulis berat sebelah? Atau tidak?
Karena hakikatnya penggiat pers media itu harus Independen dan netral.
Memahami informasi atau berita tidak boleh berdasakan satu berita saja. Netizen harus membandingkan antara berita satu dengan yang lainnya, supaya berita tersebut teruji kebenarannya.
Sebelum netizen mempercayai seutuhnya produk jurnalistik seorang penulis. Maka haruslah mengetahui riwayat penulis berita tersebut. Khusus untuk konten kanal opini zaman now setiap pers media pastinya memcamtumkan identitas penulis.
Setiap berita dikatakan akurat manakala ada foto. Foto haruslah asli bukan foto lama alias basi, lalu di posting kembali. Kalo toh foto lama si penulis harus memcamtumkan sumbernya. Keaslian foto dapat diketahui dengan cara; unduh foto, lihat foto di tampilan smartphone/PC, Klik titik tiga lalu pilih Rincian jika pada komputer maka klik kanan mouse pada file foto lalu pilih properties. Maka akan muncul informasi dari foto tersebut.
Setelah membaca jangan langsung membagikan berita ke dunia maya. Nah netizen haruslah memverifikasi berita tersebut lebih dari 1x. Karena mungkin saja penulis memalsukan berita dengan cara merubah sedikit ucapan narasumber berita. Nah loh
Jika terbukti situs tersebut hoax maka Netizen wajib melapor kepada pihak yang berwenang seperti kementrian KOMINFO dan Kepolisian. Cara lapor dapat dilakukan secara langsung dan online, yaitu melalui situs resmi atau mobile apps dari lembaga yang berwenang.
Netizen selain mengantisipasi hoax secara pribadi tentunya perlu bimbingan secara masal. Nah caranya, kita bisa berpartisipasi dalam grup diskusi anti hoax atau mengikuti seminar-seminar yang mengkaji tentang hoax. Sehingga wawasan kita tentang hoax semakin memdalam dan meluas.
Pemanfaatan Teknologi Informasi hakikatnya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun yang terjadi saat ini di Indonesia ialah masih harus di koreksi kembali. Hoax itu ibarat ketika anak kecil berada diterowongan Casablanca tengah malam yang sepi. Diterowongan itu si anak berteriak “ibu”ibu”ibu”. Sebanyak 3x memanggil namun hanya terdengar suara gema membalas panggilannya dengan keras. Yaps maksudnya ialah ketika manusia menyampaikan ujaran negatif maka ujaran tersebut akan berbalik kepadanya secara lebih keras, sama saat manusia menyampaikan ujaran positif maka berbaliklah ujaran yang positif. Dalam hal ini pembuat berita palsu bisa terjerat pasal 28 ayat 21 Undang-undang ITE, yaitu hukuman 6 tahun penjara atau denda 1 Miliyar. Rasain Deh..hahaha
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat dalam melawan penyebaran narkoba yang merusak generasi bangsa.…
Jakarta - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmen kuatnya dalam memberantas peredaran narkoba di…
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, UMKM menjadi salah satu pilar utama dalam upaya percepatan…
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…