Oleh: Ignatius Raditya Nugraha
Benarkah ada tujuh container dari China berisi 70 juta surat suara tercoblos untuk paslon 01 di Tanjung Priok? Apakah paslon 02 Prabowo-Sandi menjiplak visi-misi paslon 01 Jokowi-Ma’ruf? Apakah benar Presiden Jokowi menggunakan alat bantu pendegaran saat debat capres kedua 2019? Pada era informasi, pertanyaan-pertanyaan tersebut bukannya dijawab oleh pihak berkompeten atau para pakar, melainkan orang-orang narsis, yaitu orang awam sok tahu politik, para penganut teori konspirasi, hingga simpatisan politik fanatik melalui media sosial.
Narsis dalam politik adalah keadaan mencintai keyakinan politik secara berlebihan. Sebenarnya narsisme politik inilah salah satu penyebab hoax menyebar luas menjelang Pilpres 2019. Para awam politik sekaligus narsis menganggap tokoh politik favorit mereka tidak mempunyai kesalahan, semua berita media itu bohong kecuali memuji junjungan mereka, atau parahnya, membenarkan aksi kekerasan atau persekusi hanya karena berbeda keyakinan politik.
Membuat Kesimpulan Dahulu, Mencari Fakta Belakangan
Terdapat kencederungan dua kesalahan berpikir karena narsisme politik ini. Pertama, konfirmasi bias. Menurut Oxford Dictionary, konfirmasi bias adalah kecenderungan untuk menafsirkan bukti baru sebagai konfirmasi atas keyakinan atau teori yang telah ada. Artinya, orang-orang narsis telah memiliki suatu kesimpulan dahulu, baru kemudian mencari informasi untuk mendukung kesimpulan tersebut.
Misalnya, seorang pemilih menyukai Prabowo Subianto. Maka dari itu, pemilih ini hanya mau menerima berita yang menaikkan nama Prabowo, tetapi menolak berita-berita yang mengkritisi pernyataan kontroversial Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Masalah sebenarnya adalah saat narsisme mendorong konfirmasi bias ini membenarkan informasi hoaks dari situs tidak terverifikasi, blog teori-teori konspirasi, atau cuitan berita tidak lengkap di media sosial. Sedangkan, informasi media arus utama, jurnal ilmiah, atau pendapat para pakar politik yang menepis informasi hoaks tersebut dilupakan hanya karena kecurigaan tidak berdasar.
Setelah merasa lebih pintar dari para wartawan dan pakar politik hanya karena sekali pencarian di google, tidak jarang narsisme berkembang menjadi kejahatan, dari ikut menyebarkan berita hoaks melalui WhatsApp, termakan provokasi akun buzzer media sosial satu keyakinan politik, hingga melakukan persekusi terhadap mereka yang berbeda keyakinan politik.
Penting diperhatikan, orang-orang narsis yang telah menjadi penyebar hoaks tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah. Hal ini merupakan kesalahan berpikir yang kedua.
Kesalahan berpikir kedua ini disebut “Efek Dunning Krugger”. Efek Dunning Krugger adalah fenomena yang ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger, peneliti psikologi di Cornell University. Berdasarkan penelitian pada tahun 1999, Efek Dunning Krugger menjelaskan bahwa semakin bodoh seseorang, maka semakin yakin seseorang tersebut kalau dia tidak bodoh.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa hampir semua orang cenderung melebih-lebihkan penilaian atas kemampuan diri sendiri. Orang-orang yang tidak mempunyai keahlian kognitif, teknis, atau sosial, malah cenderung melebih-lebihkan kecakapan dan kinerja, seperti tatabahasa, kecerdasan emosional, atau pemikiran logis.
Hal ini menjelaskan mengapa orang-orang masih mau menyebarkan informasi dari sumber-sumber tidak kredibel. Mereka terlalu inkompeten untuk mengetahui bahwa sumber informasi mereka tidak kredibel dan terlalu percaya diri untuk menyebarkan berita hoaks walaupun tidak memahami isinya.
Inilah penyebab masih ada yang mempercayai Presiden Jokowi mempunyai hubungan dengan PKI, konspirasi elite global yang entah apa artinya, serta isu-isu remeh lainnya yang merusak kualitas demokrasi Pilpres 2019.
Cara Melawan Hoaks Mirip dengan Melawan Penyakit
Sesungguhnya, cara melawan hoaks dan penyakit mirip. Misalnya, jika sakit perut karena mengonsumi makanan kotor dari pedagang pinggir jalan, maka periksakan ke dokter dan hindari sumber penyakit mengonsumi makanan kotor dari pedagang pinggir jalan. Akan menjadi kontraproduktif, bila malah mengajari dokter mengenai obat apa yang harus dikonsumsi.
Hal yang sama juga berlaku untuk melawan hoaks. Untuk melawan hoaks, percayailah media dan pakar yang kredibel sehinga terhindar dari informasi yang tidak jelas kebenarannya. Akan menjadi kontraproduktif bila hanya mencari informasi yang disukai, tetapi bersumber dari akun media sosial atau situs yang dipertanyakan keabsahannya.
Namun demikian, rasa tidak percaya terhadap media-media wajar dimaklumi di Indonesia. Pusat Kajian Media dan Komunikasi Remotivi mendeteksi jumlah penayangan Jokowi dan Prabowo yang naik-turun dengan tajam setelah koalisi partai politik terbentuk menjelang Pilpres 2014. MetroTV, tvOne, dan MNC Group adalah pelaku utama yang melakukan keberpihakan politik pada saat itu. Sampai sekarang, hasil penelitian Remotivi masih terbuka untuk umum melalui video youtube “Masih Percaya Media?” pada Maret 2015 lalu.
Dengan demikian, untuk menjadi lebih kritis terhadap berita, melalui bukunya, “The Death of Expertise”, ilmuwan Politik Harvard Extension School Tim Nichols memberikan empat rekomendasi bagi para konsumen berita. Menurut Tom, empat rekomendasi adalah sebagai berikut.
Rendah hati. Artinya, berasumsi bahwa berita-berita media massa bersama para pakar lebih berkualitas daripada pendapat awam. Jika kaum awam menjadi narsis dan merasa bahwa mereka lebih pintar dibandingkan para jurnalis dan narasumber, maka kualitas berita itu menjadi tidak relevan dan sia-sia belaka.
Bervariasi. Pastikan untuk mengonsumsi berita dari media yang berbeda-beda untuk memahami suatu isu, terutama politik. Beragam media berarti kaya akan pemahaman sudut pandangan yang berbeda-beda. Ada kalanya, media lain mempunyai pembahasan yang lebih akurat dan tidak disadari oleh media favorit selama ini. Bahkan, berlangganan kepada media-media asing juga menjadi opsi yang valid untuk mengetahui persepsi luar negeri mengenai dunia politik Indonesia.
Kurangi sinis. Jangan memandang rendah informasi-informasi yang tidak disukai, terutama dari media atau tokoh yang berbeda keyakinan politik. Sesungguhnya, ketidaksukaan kepada seorang tokoh atau media tidak membenarkan alasan apa pun untuk menolak semua pernyataan mereka. Seperti makanan, informasi pahit masih lebih baik dibandingkan informasi palsu.
Selektif terhadap informasi. Mengkritisi media dan pakar sebenarnya wajar saja di lingkungan demokrasi. Hal ini bisa terlihat dari Survei global Edelman Trust Barometer 2019 yang menunjukkan bahwa hanya 47 persen masyarakat global mempercayai media. Namun kekritisan yang benar adalah bersikap hal yang sama terhadap media kredibel dan akun media sosial serta situs tidak jelas, bukan menganakemaskan satu sumber informasi saja.
Lantaran demikian, empat rekomendasi tersebut dapat menjadi langkah awal untuk mengebalkan diri dari hoaks menjelang Pilpres 2019. Indonesia yang selalu dibanggakan akan kedamaian antar keberagaman suku, agama, dan budaya seharusnya kaya akan kerendahan hati untuk menerima keyakinan politik orang lain melalui demokrasi.
Ancam Stabilitas Bangsa, Presiden Prabowo Perkuat Pengawasan Peredaran Narkoba Oleh: Darmawan Hutagalung Presiden Prabowo Subianto…
Presiden Prabowo Subianto terus melakukan berbagai upaya pemberantasan narkoba. Salah satunya adalah bertemu dengan Presiden…
Indonesia Perkuat Kerja Sama Internasional untuk Meningkatkan Ekspor UMKM Oleh: Arsyinta Mentari Indonesia terus memperkuat…
Presiden Prabowo Berkomitmen Berdayakan UMKM Lewat Program Penghapusan Utang Jakarta, - Presiden Republik Indonesia, Prabowo…
Kunjungan Presiden Republik Indonesia (RI) ke-8, Prabowo Subianto, ke China dan Amerika Serikat (AS) baru-baru…
Kunjungan Kerja Presiden Prabowo Memperkuat Jaringan Ekonomi Global untuk Pemerataan Ekonomi Presiden Republik Indonesia, Prabowo…