Kominfo bersama DPR-RI melaksanakan seminar live straming bertemakan “Berkah Ramadhan, Bijak Bermedia Sosial” yang diisi Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini selaku Anggota Komisi I DPR RI, Dr. Fariz Alniezar, M.Hum selaku Dosen Unusia/Pegiat Literasi, Syukri Rahmatullah selaku Pimred IDX Channel, TV & Portab Berita Ekonomi & Pasar Modal Indonesia yang mana dalam seminar live streaming tersebut Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini menyampaikan “Pertama marilah kita bersyukur di tengah bulan suci ramadhan ini masih diberikan kesehatan dan kesempatan memasuki bulan yang penuh dengan kemuliaan, bulan yang disebutkan sebagai Syahru Shiyam di mana menjalankan peribadatan satu ibadah yang luar biasa berpuasa, kemudian juga ramadhan ini juga dikenal sebagai bulan yang penuh kedermawanan, dimana pada bulan ini juga dianjurkan untuk mengeluarkan zakat, sedekah, berbagi kepada sesama dan sekaligus ramadhan ini adalah sebagai Syahrul Quran bulan diturunkannya Al Quran, yang semua mengenalnya di dalamnya juga ada yang disebut dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar dan memasuki ramadhan ini juga tidak terelakkan bahwa pada akhirnya sosial media memiliki peran penting baik menjalankan dalam bermuamalah kegiatan keseharian.
Yang disebut dengan transformasi digital ini adalah sesuatu yang bersifat memaksa, bukan lagi sebuah choice ataupun pilihan, karena memang masyarakat ini sudah berpindah, bergerak dari apa yang disebut sebagai physical space ataupun ruang yang serba fisik ini sudah berubah menuju apa yang disebut sebagai cyber space ataupun ruang yang serba cyber, maka bagi orang per orangan ataupun kelompok yang tidak menjadikan sosial media ini sebagai sebuah platform dalam mengembangkan tujuan dari organisasi ataupun tujuan dari keseharian, maka pasti akan menjadi satu generasi yang ketinggalan.
Maka untuk itu dalam kesempatan ini saya menyimak dua narasumber terdahulu bahwa pada akhirnya social media ini ibarat sebuah pisau yang kalau digunakan secara baik dia akan bermakna dengan baik, tetapi kalau di gunakan untuk sebuah kejahatan dia akan menjadi sesuatu yang tentu merugikan orang pada kebanyakan, ketika menjadikan sosial media ini sebagai forum untuk berbagi kebaikan, baik itu informasi tentang kesehatan, informasi tentang tips-tips untuk hidup lebih sehat ataupun sosial media yang di jadikan sebagai ladang untuk kebaikan, mengajak orang lain untuk berbagi, untuk memberikan inspirasi pada saat itulah sesungguhnya telah menjadikan sosial media ini sebagai bagian dari upaya untuk senantiasa berbuat baik kepada sesama, tapi banyak penelitian yang menyebutkan bahwa seorang manusia baik itu bisa menjadi seorang manusia yang kebalikannya alias berpotensi berbuat jahat ketika bersosial media, maka untuk itu penting untuk memahami literasi dalam bersosial media, agar tidak menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai penyebar kebohongan, pertama harus memastikan bahwa informasi itu adalah informasi yang benar yang kedua harus memastikan bahwa harus melakukan saring sebelum sharing.
Harus melakukan filter informasi ini apakah benar atau tidak, baik atau buruk, baru setelah melakukan sharing baru kita bisa melakukan sharing dan yang ketiga adalah melakukan tabayun klarifikasi karena kadang-kadang ketika bertanya saja pada grup Whatapp tentang sebuah informasi berita yang mungkin menyesatkan secara tidak sadar, kita sudah menjadi bagian dari penyebar hoax ataupun penyebar dari fitnah itu sendiri.
Ketika yang menerima informasi itu tidak dilengkapi dengan literasi media yang baik misalnya ada fitnah hoax terhadap seseorang, di lempar ke Whatsapp grup kemudian teman yang tidak mengerti ini, langsung men-share ke banyak orang maka jadilah kita ini bagian dari mengumbar aib seseorang, sehingga ini bagian dari kejahatan karena menyebarkan berita bohong, maka di bulan puasa ini, bulan suci yang penuh dengan kemuliaan ini, marilah menjadikan sosial media ini sebagai ladang kebaikan, bukan justru sebaliknya dan mari bersama-sama di tengah-tengah bulan suci ramadhan ini senantiasa menjadi insan-insan yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Dr. Fariz Alniezar, M.Hum selaku Dosen Unusia/Pegiat Literasi menyampaikan bahwa “Zen R.S itu kalau teman-teman akrab nonton Piala Dunia tahun 2020 itu dia sering jadi komentator di situ, salah satu quote yang saya kutip adalah “yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya budaya komentar” hari ini bahwa inflasi budaya komentar itu sudah terjadi, jadi orang bisa menjadi apa saja mengomentari apapun saja, kapan saja, dimana saja, jadi ini yang diramalkan Tom Nichols dalam bukunya yang laris di Indonesia juga judulnya the death of expertise atau matinya kepakaran artinya di zaman media sosial ini yang borderless tidak jarak lagi
Yang sumir sekali jaraknya orang bisa menjadi komentator untuk apa saja tanpa melalui kanal-kanal atau syarat yang dalam tanda kutip kalau para peneliti zaman dulu menyebutnya sebagai intelektual public artinya komentar-komentar yang jadi poin dari apa yang mereka sampaikan pasti kebanyakan jauh panggang dari api, tahun 2021 Indonesia dinobatkan oleh Microsoft sebagai negara dengan indeks kecerewetan atau ketidaksopanan paling tinggi se-Asia Pasifik untuk netizen-netizennya.
DCI regional summary Indonesia masuk pada peringkat sayangnya yang paling bawah sekali di Asia Pasifik, DCI ini diukur dari tingkat ketidaksopanan netizen, ini saya alami sendiri kalau saya sedang suntuk dan lain sebagainya hiburan saya adalah melihat komentar-komentar yang terlihat brutal tidak karu-karuan di media sosial itu.
Komentar-komentar yang tidak ada di dunia nyata di media sosial itu terjadi. Kalau di lihat dari tingkat ketidaksopanan itu diukur paling tidak tiga, orang kita itu kan mudah sekali termakan berita-berita bohong yang belum valid keberadaannya, sumber copas dari blog sebelah, kemudian ada ujaran kebencian dan juga diskriminasi, kita tahu sekali kalau diskriminasi itu misalkan beberapa waktu yang lalu ada video Tiktok dari seorang dokter yang kemudian akhirnya dipecat oleh IDI, dokter kandungan terus kemudian dia akhirnya membuat marah banyak kalangan termasuk juga membuat trauma pada sebagian besar ibu-ibu dan juga perempuan-perempuan Indonesia karena video kontennya itu.
Jadi dari 3 konten yang menjadikan Indonesia netizen nya itu adalah netizen yang dalam kategori tidak sopan itu karena selain tiga unsur konten tadi tentang hoax, penipuan, ujaran kebencian dan juga diskriminasi kita tahu bahwa memang pada dasarnya orang-orang Indonesia.
Kalau di media sosial itu menjadi diri yang lain dibandingkan ketika di dunia nyata, tidak ada orang Indonesia yang ramah-rama di media sosial, ada sih cuma persoalannya itu tiak kelihatan, tekanannya itu kalah lebih dahsyat dibandingkan yang negatif, saya pernah membandingkan akun-akun yang sifatnya ghibah dan seterusnya jauh lebih diminati.
Sementara kondisi milenial di akar rumput kita itu kondisinya seperti ini, usia 17-36 tahun lebih sebetulnya kalau di media sosial yang di inginkan itu apa, tidak lari dari tiga hal musik, kemudian film, sama agama, kalau 3 ini jadi jadi konten udah jadi biduan lah pokoknya, agama nih hari ini kita tahu bahwa agama menjadi komoditas yang sangat menarik di media sosial pertempurannya cukup tak bersudut.
Di Instagram dulu orang menyukai dakwah melalui teks melalui Twitter, melalui Facebook sekarang sudah pindah jadi audio visual, mengenal Instagram bahkan terakhir mengenal YouTube dan Tik Tok, banyak instansi sudah mulai menggunakan media Tiktok sebagai sarana untuk menyampaikan konten-konten yang menjadi pesan mereka, kalau dilihat dari nilai prioritas yang mereka gamit, itu sebetulnya hal-hal yang terkait dengan kekuasaan, prestasi dan seterusnya itu hampir tidak ada, kemarin ada konten di Twitter yang awalnya itu dari Vlog seseorang, ada anak kecil ditanyai SD singkatannya apa, tidak ngertikan, sekolah di dibubarkan katanya, itu jadi viral, jadi trending topic, jadi kondisi kita yang seperti itu, milenial itu paling jauh ngomongnya kalau gak musik, sport, film atau agama.
Bagian terpenting yang harus di ketahui bagi saya, media sosial itu kan kaya orang belajar pencak silat, kaya belajar karate, semakin seseorang itu tinggi ilmunya itu semakin tidak membutuhkan senjata artinya senjatanya itu disembunyikan ini kalau mengacu pada cerita-cerita leluhur dulu misalnya, yang senjatanya paling panjang itu kan penjaga pintu gerbang yang pakai tombak, jadi semakin dia tinggi ilmunya paling nanti menjadi pedang, turun lagi jadi keris, turun lagi tidak pakai senjata itu sudah sudah top, sudah level atas, media sosial itu membuat kita semakin tidak menjadi diri kita, jadi menjauhkan diri kita dari yang sesungguhnya itu efek negatifnya contoh misalnya mendidik kita untuk tidak berani berhadapan dengan realitas itu media sosial. Yang menarik adalah tahun 2017 itu ada survei di Michigan University dia bilang bahwa kecanduan media sosial itu sangat erat kaitanya dengan perubahan perilaku di seseorang yang kecanduan tersebut.
Bagaimana ciri orang yang disebut adiktif yaitu orang yang disebut sebagai pribadi yang adiktif terhadap media sosial itu adalah kalau teman-teman sekalian intensitas ngecek hp-nya kurang dari 5 menit ada atau tidak ada notifikasi itu sudah candu, harus tahu media sosial kan memang satu sisi kayak mata pisau, saya tidak setuju dengan banyak pendapat yang mengatakan bahwa tidak boleh belajar dari belajar agama dari internet ya memang frase atau premis itu ada betulnya, tapi persoalannya adalah pada titik tertentu harus belajar pada internet kasusnya seperti ini hal yang paling dekat dengan kita hari ini adalah internet saya tidak membayangkan anak-anak yang hidup di perkotaan ketika menghadapi persoalan-persoalan keagamaan yang itu sifatnya tabu, terus kemudian dia malu untuk menanyakan kepada seorang Ustadz katakanlah atau temannya, dia tidak punya tempat untuk bertanya misalkan ketika dia mengalami fase akil balik misalkan hal yang pertama dilakukan karena ini dianggap tabu adalah cari referensi di Google bukan ke yang lain dan itu sangat tidak mungkin ditanyakan ke gurunya atau ke ayahnya silakan curhat gak mungkin bangetlah anak sekarang, pasti ke Google, Google itu kalau dicari sisi baiknya baik, persoalannya adalah kalau ini tidak dibimbing ini menjadi soal.
Maka dari itu belajar dari internet itu saya rasa bukan belajar agama dari internet tidak baik bukan frase yang mutlak harus diimani karena ada posisi-posisi tertentu yang kita harus belajar di sana.
Jika ingin bermain media sosial yang paling harus dijaga adalah privasi data dan info pribadi, junjungan norma dan etika, hati-hati terhadap akun yang tidak dikenali, hindari konten SARA, gunakan medsos untuk memperluas jaringan, sertakan sumber untuk konten yang diunggah, jangan menggunggah apapun yang tidak jelas sumbernya, gunakan medsos untuk mengembangkan diri.
Dalam kesempatan yang sama Syukri Rahmatullah selaku Pimred IDX Channel TV & Portab Berita Ekonomi & Pasar Modal Indonesia menyampaikan bahwa “Manfaat dari sosial media adalah bagaimana menyambungkan koneksi, mengkoneksikan antara manusia yang jauh jaraknya dan juga mungkin tidak pernah ketemu, bahkan sampai orang yang sudah bertahun-tahun tidak ketemu, saya merasakan dampak positif dari sosial media, kemudian kemarin kebetulan saya berbuka puasa dengan salah satu Direktur Bank Syariah di Indonesia dia direktur keuangan.
Kita lagi bercerita dan sebagainya sampai kemudian pada titik berbicara tentang sosial media dan saya kaget, direktur ini usia masih muda lebih muda dari saya dan dia bercerita saya tidak punya sosial media apapun, saya bilang luar biasa banget seorang direktur bank, berpendidikan dan dia juga lulusan luar, tentu dia memiliki banyak hal, dan tidak bersosial media ini sebuah pertanyaan, biasanya kalau lihat demografi ataupun geografisnya pengguna sosial media dia banget, milenial, kaya, memiliki kecukupan dan sebagainya kira-kira, tapi tidak bersosial media, saya tanya kenapa dia bilang saya benci dengan sosial media, kenapa Anda benci.
Karena menurutnya sosial media itu adalah membentuk orang tidak menjadi dirinya sendiri, itu menurut saya menggambarkan bagaimana posisi antara mungkin kanan dan kirinya sosial media positif dan negatifnya, ada yang merasakan positif, ada juga yang merasakan negatifnya, tapi memang kalau berbicara tentang sosial media, ini kan kurang lebih terjadi sekitar 10 tahun dan ini menjadi sebuah kayak semacam geger budaya, kenapa karena kita orang Indonesia tidak siap menghadapi perubahan teknologi, kalau orang yang sudah siap mungkin tidak begini cara menyikapinya.
Sama seperti misalkan kalau sudah siap mau melakukan sahur pasti malamnya sudah siapin makanan, ketika terlambat pun tinggal ngangetin makanan ini itu dan sebagainya itu kalau orang memang siap-siap, kalau gak niat puasa ya pasti tidak menyiapkan apa-apa, bangun syukur, tidak ya udah paginya dia minum kopi, artinya memang saya melihat bahwa kita belum siap, jadi waktu itu sekitar tahun 2014 saya diminta untuk berbicara di Lemhanas, oleh ketua Lemhanas itu berdasarkan kritik saya waktu itu kepada Lemhanas ketika dia mengundang para pemimpin redaksi menjabarkan tentang apa ekonomi 2021-2025 waktu itu tahun 2014 dan yang disampaikan adalah sangat konvensional menurut saya, bagaimana pertanian, bagaimana perkebunan dan sebagainya, lalu saya kritik saat itu pak kenapa tidak bicara teknologi 2014 kenapa kita tidak boleh berbicara teknologi kemana teknologi nanti 2021, 2025, 2030, 2040 kenapa tidak bicara itu kenapa, karena di dunia itu sekarang teknologi sudah luar biasa dan kita Lemhanas penelitiannya masih bicara soal sawah, masih bicara soal perkebunan, tidak berbicara bagaimana Indonesia menyikapi soal kemajuan teknologi, kemajuan teknologi kita sudah sampai di mana mau ke mana dan bagaimana cara kita menyikapinya, makanya wajar kalau kemudian bukan saya bermaksud menyalahkan Lemhannas tapi kita semua memang belum siap dan wajar ketika teknologi masuk ini kan tergantung siapa yang menerima.
Coba di lihat, kalau kita lihat data sensus penduduk Indonesia itu mayoritas berpendidikan S1, S2 atau lulusan SD jawabannya adalah lulusan SD masih di atas 70% penduduk Indonesia itu lulusan SD, sama kemudian ketika anak kecil menerima sebuah benda, kalau seorang chef yang berpendidikan menerima pisau itu pasti digunakan untuk masak, tapi bagaimana dia orang yang baru keluar dari penjara menerima pisau pasti dia kan pakai untuk menodong, mencuri untuk mencari uang, tergantung siapa penerimanya, ketika ketidak siapan penerimaan terhadap sebuah teknologi baru yang terjadi adalah iya gagap, sehingga kemudian apa yang tadi di sampaikan oleh Dokter Fariz itu maklum terjadi.
Gagap teknologi tidak siap dengan literasi, tidak siap untuk mendefinisikan apa yang namanya sosial media, sosial media ini apa sih, binatang apa sih, bagaimana cara menyikapinya, siapa sih yang harus di lakukan dalam sosial media, kita belum siap sehingga kemudian yang terjadi adalah kebanyakan sampah daripada yang baik-baik, itu yang terjadi memang, saya pernah sampaikan juga ke ketua BNPT saya sampaikan ini sosial media harus penangkapan teroris jangan hanya di offline Pak di online banyak sekali, saya lihat ketidaksiapan 10 tahun yang lalu dan sekarang lama-lama sudah belajar banyak dengan situasi mendidik kita.
Riset-riset berguna untuk mempelajari apa itu sosial media, kenapa orang menggunakan sosial media, pengguna sosial media di Indonesia sekarang itu sudah mencapai 61,8% dan meningkat dari tahun lalu itu kalau masalah sekitar 10 juta lebih peningkatannya, itu 61% berapa 170 juta orang luar biasa dari jumlah 220 ini pengguna sosial media ya bukan berarti tidak berinternet dia berinternet ada juga yang tidak bersosial media tapi ada juga yang bersosial media, dan kemudian yang paling banyak digunakan ada YouTube, ada Instagram yang terbaru tadi sudah disampaikan ada TikTok, lalu kalau di Indonesia berapa lama sih menggunakan sosial media ini luar biasa jadi sejak 5 tahun yang lalu pergeseran orang menonton televisi secara langsung kemudian berpindah ke online daring itu sangat efek sekali
Kalau di Indonesia itu dalam 1 hari orang bersosial media itu bisa mencapai 3 sampai 4 jam sehari, itu kalau waktu tidur 8 jam itu berapa, sudah berapa persen memakan waktu kita dalam kehidupan satu hari, katakan kalau kerja 8 jam, kalau kerjakan normalnya 8 jam, kalau 4 hari dipakai sosial media berarti kerjanya hanya 4 jam kira-kira kayak gitu, kalau misalkan dia menggunakan sosial media untuk pekerjaannya sih bagus.
Tapi kalau menggunakan sosial media itu untuk stalking, kemudian untuk kepo mantan, mungkin kepo tetangga, ini jadi tidak bermanfaat, tidak berfaedah apa lagi di bulan ramadhan, lebih baik tidur daripada menggunakan sosial media akan lebih dapat pahala.
Alasan responden menggunakan media sosial ada beberapa alasan salah satunya tentu sebagai manusia modern up to date dengan berita terkini, mencari konten hiburan, mengisi waktu luang, terhubung dengan teman, berbagi foto atau video, cari tahu produk, networking, digunakan teman lain, berbagi opini, bertemu orang baru, akhirnya kemudian dihadapkan kepada dua pilihan yang kadang-kadang pilihan itu kita tahu.
Tapi banyak juga orang yang tidak tahu dengan pilihan itu, pilihan antara positif atau negatif yang mau kita ambil dari sosial media, sama seperti tadi pisau di tangan pencuri dan terpisah di tangan seorang chef, dan bagaimana caranya kita memilih jalan antara jalar yang kiri atau jalan yang kanan nih dengan sosial media karena dua-duanya memiliki dampak, semua hal memiliki dampak terganteng siapa yang penggunanya.
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…
Presiden Prabowo Subianto terus mengokohkan posisi Indonesia dalam ekonomi global melalui diplomasi ekonomi yang…
Kunjungan Luar Negeri Presiden Prabowo Hasilkan Kesepakatan Penting Untuk Wujudkan Pemerataan Ekonomi JAKARTA — Dalam…
Apresiasi Peran Pers Tingkatkan Partisipasi Pemilih dalam Pilkada Oleh: Mohammad Jasin Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)…
Tokoh Agama Berperan Penting Wujudkan Kondusivitas Pilkada Para tokoh agama di seluruh Indonesia kembali meneguhkan…
Calon gubernur Jakarta nomor urut 3 Pramono Anung berharap, Gubernur Jakarta periode 2017-2022 Anies Baswedan…