Oleh : Rahmat Kartolo (Pengamat Sosial Politik)
Dalam sebuah kesempatan, Panglima TNI Gatot Nurmantyo sempat menyindir kepada ulama yang suka berbicara kasar. Menurut dia, ulama yang demikian bukanlah ulama yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW.
Ia juga mengatakan, tak sedikit tokoh agama yang suka berbicara kasar pada saat ceramah di dalam Masjid. Menurut Gatot, cara demikian alih – alih membuat jemaah merasa tenang, justru membuat umat gampang marah.
Baca Juga
Ia juga menambahkan bahwa seharusnya, masjid memberikan ketenangan jiwa. Ketika kita dalam keadaan marah, kemudian masuk ke dalam masjid pasti jiwa akan lebih tenang dan dingin.
Gatot juga meminta masyarakat agar menjauhi masjid yang isinya hanya ceramah yang menebar kebencian dan provokasi.
Kasus yang pernah terjadi sebelumnya adalah kasus yang menimpa Habib Bahar bin Smith, dirinya tersandung perkara ujaran kebencian yang ia lontarkan saat mengisi ceramah agama.
Dalam video yang diunggah di media sosial Youtube tersebut, salah satu murid Habib Rizieq ini melontarkan ujaran pedas kepada presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Ia menyebut bahwa ‘Jokowi kayaknya banci’ dan kemudian viral di media sosial. Tak berhenti pada olok – olok banci, dengan nada provokatif, pernyataan keras lainnya juga dilontarkan Habib Bahar seperti menyebut presiden RI ketujuh itu sebagai pengkhianat bangsa, pengkhianat negara dan pengkhianat rakyat.
Kata kata yang dilontarkan oleh habib tersebut tidaklah patut dilontarkan oleh seorang ulama. Pasalnya, ujaran kebencian seharusnya tidak tertutur oleh siapapun, apalagi oleh seorang habib yang tahu betul soal adab dalam berkata – kata yang baik.
Pendiri pondok pesantren Tajul Alawiyyin ini dinilai sebagai penceramah yang telah memprovokasi dengan kata – kata yang cukup tabu untuk diucapkan. Kebenciannya terhadap pemimpin sendiri sepertinya menyulut Habib Bahar untuk terus mengeluarkan kata – kata yang tidak pantas. Bahkan dia menyuruh jamaahnya apabila bertemu dengan Presiden Jokowi, untuk membuka celananya agar memastikan bahwa Jokowi mengalami menstruasi dan banci.
Kalimat provokatif seperti ini tentu sangatlan menyinggung martabat seseorang. Apalagi dia terang – terangan menyebut nama Jokowi. Padahal junjungan Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada kita umat muslim untuk tunduk terhadap pemimpin. Sekalipun kita tidak suka, tentu masyarakat muslim dapat menyalurkan kritiknya melalui jalur resmi tanpa harus merendahkan seseorang.
Karena bagaimanapun, yang dikritik adalah gagasan, dan bukan fisiknya.
Ulama yang seharusnya menyebarkan salam perdamaian bagi umat Islam dan seluruh rakyat Indonesia justru memecah kesatuan umat dengan kalimat – kalimat kebencian dan provokasinya. Tentu hal demikian tidaklah patut untuk dijadikan teladan.
Tak pelak, aksi sang ulama tersebut mendapat kecaman dari para pendukung calon presiden nomor urut 01 tersebut. Ia dilaporkan atas tuduhan diskriminasi ras dan etnis serta pelanggaran UU ITE oleh dua pihak yakni Jokowi Mania (Joman) dan Cyber Indonesia.
Pihak pelapor dari Cyber Indonesia melalui Muannas Alaidid menyatakan bahwa ceramah Habib Bahar bin Smith tersebut mengandung hinaan kepada Presiden RI Joko Widodo. Menurutnya juga, ceramah ini bukan ceramah yang beradab karena sampai melontarkan kalimat yang melecehkan seorang figur.
Muannas juga meminta kepada pihak kepolisian agar segera memproses kasus ini dan meminta polisi untuk tidak gentar memerangi kasus serupa. Tindak lanjut kasus ini adalah diterimanya laporan tersebut oleh pihak polisi dan akan ditangani oleh Direktorat Siber Bareskrim Polri.
Dengan adanya kasus ini, pihak kepolisian diharapkan bisa menindak tegas kasus hate speech karena bisa menimbulkan perpecahan dan persatuan yang berujung ketidaknyamanan dalam kehidunap bernegara.
Namun para oposisi mencoba melakukan pembelaan terhadap sang ulama dengan menyebut bahwa apa yang dilakukan Habib Bahar merupakan kritik yang wajar di era demokrasi.
Dalam kasus tersebut, menarik untuk melihat ujaran kebencian dalam kacamata dampak politik yang mungkin terjadi.
Salah satunya adalah menyoal peran ulama sebagai agen yang terlegitimasi untuk membentuk persepsi publik. Terlebih, Habib Bahar bin Smith diketahui sebagai bagian dari oposisi dan anti pemerintah.
Friendman juga menyebut bahwa karakter manusia adalah makhluk sosial yang mudah dipengaruhi oleh kemarahan. Dalam kadar tertentu, paparan ujaran kebencian secara berulang melalui pidato dapat meningkatkan prasangka, dan juga dapat menurunkan kepekaan individu.
Ujaran kebencian juga berperan dalam meningkatkan hormon stres, seperti kortisol dan norepinefrin, dan mengaktifkan amygdal, pusat otak yang berfungsi merespons ancaman. Melalui bahasa – bahasa yang mengancam dapat secara langsung mengaktifkan amygdala dan menyebabkan orang cepat emosi tanpa berpikir sebelum bertindak sesuatu.
Himbauan kepada masyarakat luas untuk tidak terprovokasi dengan video ceramah Habib tersebut tentu harus digalakkan. Hal ini agar masyarakat tidak terpecah belah dengan aksi pro dan kontra. Ujaran provokasi dari habib bahar tersebut cukup menjadi cermin bagi masyarakat bahwa ulama provokatif merupakan sosok yang berbahaya.
Masyarakat perlu untuk dewasa dan tidak menutup mata dengan adanya segelintir pemuka agama yang gemar memprovokasi. Sebagai masyarakat, kita tentu harus mampu memilah dan memilih kajian ilmu agama agar tidak terperosok ke dalam jurang radikalisme.
Menjelang kontestasi politik, sudah sepatutnya ulama berperan dalam menyejukkan suhu politik yang kian memanas, bukan lantas menambahkan bara api perpecahan dengan ujaran yang bernada provokasi.