Oleh : Ismail
Radikalisme sepertinya menjadi sebuah bahasan yang tak kunjung selesai untuk dibahas, selalu saja ada hal yang membuat kelompok radikal mendapatkan tempat di media khususnya media daring.
Semenjak internet mulai merambah ke berbagai wilayah di Indonesia, proses radikalisasi mengalami optimasi oleh kaum ekstrimis, segala keresahan terhadap demokrasi seakan menjadi bahan bakar mereka untuk merekrut masyarakat secara masif.
Kaum ekstrimis pun dengan mudah menghembuskan doktrin agama yang mengarah pada sesuatu yang berbau radikal. Hal ini sudah terbukti dengan adanya warga Indonesia yang membakar paspornya setelah sampai di Suriah.
Di era saat ini, internet seakan menjadi jalan mulus bagi kaum radikal dalam upayanya mencari pengikut maupun merekrut anggotanya. Mereka yang sudah terpapar radikalisme biasanya akan menunjukkan sikap intoleransi terhadap perbedaan.
Baca juga: Mewaspadai Penyebaran Radikalisme di Media Sosial
Pergerakan organisasi radikal seperti ISIS di Indonesia tentu perlu diantisipasi oleh seluruh lapisan masyarakat. Eksistensi organisasi radikal di Indonesia tentu sangat berbahaya bagi ketahanan negara Indonesia apabila masyarakat tidak berperan dalam mengantisipasi gerakan-gerakan radikalisme.
Cara pandang keagamaan yang tampak radikal selalu mengedepankan teks-teks keagamaan tanpa melihat konteksnya terlebih dahulu. Sehingga mereka cenderung mudah menyalahkan orang lain dalam berpikir yang berbeda. Mereka akan senantiasa mencari legitimasi keagamaan alias pembenaran sepihak tanpa didasari konteks persoalan yang mendalam.
Paham radikal seperti itu nyatanya mudah mengundang suburnya terorisme yang memandang negara dan yang berpikir berbeda dengan dirinya merupakan musuh baginya.
Bagi para radikalis, kritik atas persoalan perbedaan ideologi merupakan jihad keagamaan yang kerap kali didewakan tanpa adanya jihad kemanusiaan. Mereka yang berpaham radikal akan menganggap bahwa melakukan kerusakan di tempat ibadah agama lain merupakan jihad keagamaan, meskipun hal itu menimbulkan korban jiwa.
Dalam konteks ke-indonesiaan, tindakan teror di rumah ibadah minoritas misalnya juga hal yang amatlah berbahaya, karena dampaknya adalah jangka panjang di tingkat masyarakat, tragedi kekerasan tersebut dapat mengakibatkan renggangnya tali berbangsa yang susah payah direkatkan.
Oleh karena itu benteng dalam melindungi diri dari hembusan radikalisme adalah dari diri sendiri dan lingkungan terdekat, kita tetap harus aware dengan berbagai informasi yang masuk melalui gawai yang kita pegang setiap hari.
Jangan sampai, kita berpikiran sempit ketika mendapati ceramah yang mengajak manusia untuk memusuhi sesama manusia. Jangan sampai hanya karena 1 ceramah, maka nilai pancasila yang telah kita rawat bertahun-tahun menjadi runtuh.
Tentunya, Deradikalisasi menjadi langkah awal dari tindakan deideologisasi paham radikal di Indonesia. Pemerintah harus mengarahkan narapidana mantan napi terorisme untuk menyebarkan dan meluruskan pemahaman agama yang sesuai ajaran Islam, bahwa islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Selain itu negara juga harus hadir dalam menyusun strategi untuk menanamkan paham islam moderat, hal ini memang sudah sepatutnya dilakukan untuk mewujudkan karakter islam itu sendiri.
Dalam dunia pendidikan, tentu penting kiranya mengajarkan makna toleransi terhadap para siswa. Jangan sampai sekolah yang semestinya menjadi wahana belajar, justru menjadikan para siswa menjadi radikal ketika mendapati sesuatu yang berbeda.
Pada akhirnya, perbedaan itu indah, seperti pelangi yang tidak akan terlihat indah jika hanya ada 1 warna saja. Tentunya, yang seharusnya kita pegang teguh tidaklah paham radikal yang menimbulkan kekerasan. Namun Islam yang cinta akan tanah air yang berpotensi menumbuhkan perdamaian dan kemanusiaan di negeri ini.
Pemerintah dalam hal ini memerlukan upaya yang sistematis, terstruktur dan masif untuk menghadapi radikalisme. Tidak apabila hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang cenderung sporadis.
Selain itu Radikalisasi yang tumbuh di kalangan muslim merupakan efek domino dari kebobrokan sistem sosial masyarakat yang tidak lagi mengindahkan peraturan agama. Karenanya, mereka yakin Islam mampu menyelesaikan semua problem masyarakat sehingga Indonesia harus menjadi negara Islam.
Dirjen Pendidikan Islam juga telah membuat edaran kepada rektor-rektor perguruan tinggi untuk membuat pusat kajian yang bertujuan untuk melakukan upaya moderasi dalam beragama. Iklim keagamaan yang toleran, moderat, damai dan inklusif haruslah dikembangkan terutama untuk memahami keberagaman.
Merawat bangsa tentu saja harus disertai dengan merawat toleransi antar sesama umat beragama. Dengan demikian Bhineka Tunggal Ika akan tetap menjadi semboyan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Penulis adalah warganet, aktif dalam kajian Lingkar Mahasiswa dan Pers Cikini
Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat dalam melawan penyebaran narkoba yang merusak generasi bangsa.…
Jakarta - Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmen kuatnya dalam memberantas peredaran narkoba di…
Di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, UMKM menjadi salah satu pilar utama dalam upaya percepatan…
JAKARTA - Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif…
Penghapusan Utang UMKM, Peluang Kebangkitan Pengusaha Indonesia Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor…
Presiden Prabowo Subianto terus mengokohkan posisi Indonesia dalam ekonomi global melalui diplomasi ekonomi yang…