Oleh : Sabby Kosay (Mahasiswa Papua tinggal di Jakarta)
Gerakan separatis terbukti memanfaatkan isu rasisme yang memicu kerusuhan di Papua beberapa pekan silam. Tidak tahu malu, mereka mengeksploitasi masyarakat untuk ikut berbuat onar dan menciptakan kerusuhan. Pemerintah dan masyarakat internasional harus bersatu guna menolak gerakan separatis Papua yang didukung beberapa negara kecil di Kepulauan Pasifik.
Profesor Eddy Pratomo selaku Pakar Hukum Internasional menyatakan, keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri. Hal itu sudah masuk dalam kategori separatisme. Padahal hukum internasional tidak mengakui adanya hak separatisme bagi suatu bagian wilayah, karena hukum ini mengenal prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah negara.
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman tersebut juga menyayangkan akan adanya opini yang dikembangkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua yang seolah – olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timor Timur, sehingga menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua. Hal tersebut tentu pandangan keliru yang tidak memahami hukum internasional sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timor Timur dalam sistem hukum ini.
Ia juga mengatakan bahwa tuntutan referendum yang dilakukan oleh segelintir oknum atas Papua bertentangan dengan kebijakan hukum nasional. Hal ini jelas diatur bagi wilayah yang telah merdeka dan telah ditetapkan dalam aturan Perserikatan Bangsa – Bangsa atau PBB.
Prof Eddy menuturkan, referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakukan dalam konteks kolonialisme dan ini sudah dilakukan oleh Papua bersama seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lainnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Tuntutan pengulangan referendum akan bertentangan dengan prinsip utama dalam hukum internasional dan piagam PBB yaitu teritorial integrity dan uti possidetisyuris.
Sementara itu kita juga patut mewaspadai adanya campur tangan negara asing terhadap upaya kemerdekaan Papua. Pemerintah Indonesia pun berang dengan langkah Vanuatu yang mengikutkan salah satu tokoh Papua Merdeka Benny Wenda sebagai peserta Forum Kepulauan Pasifik (PIF) di Tuvalu, 13-16 Agustus 2019. Benny dikabarkan menggunakan forum tersebut untuk mendesak PBB agar menggelar referendum kemerdekaan Papua.
Dalam forum tersebut, Indonesia memang bukanlah anggota, namun sebagai mitra dialog.
Juru Bicara Pemerintah Indonesia menegaskan, Jakarta ‘tidak senang’ jika isu Papua dimasukkan dalam agenda resmi pertemuan PIF.
Indonesia juga telah memberikan peringatan bahwa langkah itu akan menjadi preseden bagi adanya campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Sebelumnya, dalam pertemua tingkat Menlu negara Pasifik, Vanuatu berhasil memasukkan isu Papua secara resmi sebagai agenda Forum Kepulauan Pasifik. Australia pun mengajukan protes keras atas langkah tersebut.
Nyatanya kebijakan luar negeri Australia sendiri amatlah mendukung kedaulatan Republik Indonesia atas Papua, sementara negara Pasifik khususnya Vanuatu dan Kepulauan Solomon mendukung kemerdekaan Papua.
Seorang Juru Bicara Departemen Luar Negeri Australia menyatakan, negara ini mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua, sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Lombok tahun 2006.
Solomon dan Vanuatu diduga terlibat dalam sebuah kontrak politik terhadap masalah Papua.
Apabila kedua negara tersebut mendukung referendum untuk Papua, maka sudah jelas dukungan tersebut melanggar dari tujuan – tujuan piagam PBB dan prinsip hukum internasional pada hubungan yang saling menghargai kedaulatan dan integritas teritorial negara.
Kedua negara ini memiliki ideologi yang sama, yakni merujuk pada kesamaan ras melanesia yang lebih mementingkan kepemilikan bersama daripada kepemilikian individu.
Kelompok Papua Medeka terus mendapatkan dukungan oleh Solomon dan Vanuatu. Jika membahas suatu kontrak politik tersebut, sudah dapat kita lihat, apa yang terjadi jika Papua merdeka dan berdiri menjadi sebuah negara. Tentu saja sistem ideologi sosialisme Papua adalah milik bersama dan Papua akan dijadikan alat dari Solomon dan Vanuatu untuk mendukung roda perekonomian yang ada di kedua negara tersebut.
Secara, Solomon dan Vanuatu masuk ke dalam negara termiskin oleh Bank Dunia. Mulai dari krisis bahan bakar dan keuangan pada tahun 2009, penurunan jumlah ekspor logistik, serta terjadinya perang sipil yang membuat negara tersebut hampir saja bankrut.
Kedua negara tersebut juga menghadapi masalah HAM serius. Korupsi di berbagai sektor hingga kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya hal tersebut adalah rutinitas harian yang ada di kedua negara pasifik tersebut.
Oleh karena itu, kita patut menjaga kedaulatan Indonesia dengan menjaga Papua agar tidak lepas dari Pangkuan NKRI, Indonesia harus bersikap tegas kepada siapapun yang ingin memecah belah Bumi Pertiwi.
Kunjungan Presiden Republik Indonesia (RI) ke-8, Prabowo Subianto, ke China dan Amerika Serikat (AS) baru-baru…
Kunjungan Kerja Presiden Prabowo Memperkuat Jaringan Ekonomi Global untuk Pemerataan Ekonomi Presiden Republik Indonesia, Prabowo…
Mengapresiasi Komitmen Presiden Prabowo Lanjutkan Pembangunan IKN, Guna Ciptakan Rasa Aman Investor Oleh: Nurul Janida…
Jakarta — Dalam rangka mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang tengah diupayakan sebagai kota…
Dukungan Riset UI Berkontribusi Besar terhadap Pembangunan IKN di Era Presiden Prabowo Jakarta — Dalam…
Mendorong Kesadaran Publik untuk Melawan Politik Uang di Pilkada 2024 Oleh : Gema Iva Kirana…