Oleh Sara Masroni
Masyarakat Telematika (Mastel) 2017 menyebutkan, jenis hoaks yang paling banyak diterima masyarakat adalah masalah sosial politik 91,80 persen, Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA) 88,60 persen dan kesehatan sebanyak 41,30 persen, (Juditha, 2018: 18).
Baca Juga
Berangkat dari survei di atas, kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet, isu Jokowi keturunan PKI, tulisan tagar 2019 Ganti Presiden di kaos Khabib Nurmagomedov hingga 7 kontainer surat suara tercoblos di Tanjung Priok adalah sederet hoaks jenis sosial politik yang sempat menggoncang publik dan menguras banyak energi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 ini.
Rentetan hoaks itu seakan mengamini survei yang dilakukan Mastel di atas. Di era digital, isu politik kerap dijadikan barang empuk untuk dibumbui hoaks. Telebih jelang Pemilu, fenomena tersebut benar-benar membahayakan demokrasi dan merusak akal sehat. Dengan demikian, seperti apa hoaks bekerja, apa pengaruhnya dan bagaimana cara meredamnya?
Bahaya hoaks
Hoaks (dalam bahasa Inggris hoax) adalah berita bohong. Menurut Afriza dan Adisantoso (2018: 1) hoaks adalah informasi sesat dan berbahaya karena menyesatkan persepsi manusia dengan menyampaikan informasi palsu sebagai kebenaran.
Menjelang Pemilu, para pemilik kepentingan berupaya keras menggiring opini publik menggunakan hoaks dengan tujuan menciptakan simpati pada satu sosok yang ingin diangkat dan menyebar kebencian pada sosok lain yang dianggap lawan. Bahayanya, hoaks dapat mempengaruhi penerima informasi hingga melakukan tindakan sesuai dengan apa yang diharapkan penyebarnya.
Kita hampir saja tersulut emosi saat melihat wajah Ratna Sarumpaet yang katanya dikeroyok sekelompok orang beberapa waktu lalu. Terlihat beberapa tokoh nasional seperti Prabowo, Amien Rais dan beberapa tokoh lainnya yang mulai mengambil tindakan. Untungnya kasus ini cepat terungkap. Jika tidak, maka sungguh menguras energi bangsa ini untuk mengurus hal-hal remeh-temeh seperti ini karena dapat menimbulkan aksi kecaman yang lebih luas.
Masih berdasarkan survei Mastel (dalam Juditha, 2018: 18) menyebutkan, saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, Path) yang mencapai 92, 40 persen, disusul oleh aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebanyak 62,80 persen dan melalui situs web sebanyak 34,90 persen.
Tidak heran bila hoaks begitu mudahnya menembus ruang-ruang privasi kita. Kehidupan semakin beralih dari dunia nyata menuju dunia virtual. Seiring dengan itu, hoaks semakin mudah bersileweran di gawai kita setiap harinya.
Bahkan ajaibnya, para penyebar hoaks saat ini sudah bisa menyebar berita sesat menggunakan data. Soal utang Indonesia salah satunya yang mencapai Rp 4.498 triliun. Data ini langsung diberdayakan oleh penyebar hoaks yang mengatakan Indonesia sudah runtuh dengan tujuan politik.
Padahal nyatanya, dikutip dari Kataindonesia.com (11/3/2018), mengukur kondisi ekonomi Indonesia harus melihat seluruh tolok ukur. Di antaranya, rasio utang terhadap PDB dan ratio utang terhadap kemampuan bayar. Serta pertumbuhan ekonomi, turunnya gini ratio, dan pembangunan infrastruktur.
Dan posisi utang Indonesia saat ini masih masuk kategori aman. Begitulah penjelasan Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI yang sudah meraih penghargaan Menteri Keuangan Terbaik Sedunia di World Government Summit itu.
Jika tidak bijak, termakan hasutan dan fitnah, maka kita dengan mudah menjadi korban selanjutnya. Untuk itu, berbagai perbaikan regulasi, penyelanggaraan kegiatan seperti workshop dan sebagainya yang digencarkan pemerintah merupakan bentuk keresahan menanggapi hoaks.
Saat ini berbagai LSM, organisasi nonpemerintahan hingga lembaga pendidikan, semuanya bergandeng tangan mendeklarasikan gerakan melawan hoaks jelang Pemilu mendatang. Maka sudah menjadi tugas kita bersama mendukung penuh gerakan ini walau tidak terlibat langsung di dalamnya.
Pemilu dan hoaks
Pemilu adalah suatu media untuk memperoleh mandat. Singkatnya pemilu adalah media untuk melakukan sirkulasi elite yang menentukan kehidupan bangsa. Oleh karena itu pemilu harus diikuti oleh putra dan putri terbaik bangsa, bukan sebaliknya, (Syam, 2003: 26).
Hoaks adalah instrumen perusak demokrasi karena mampu menutup mata para pemilih dalam menentukan siapa putra dan putri terbaik bangsa dimaksud. Jay C (dalam Fatimah, 2018: 11) menyebutkan, kampanye hitam atau black campaign adalah sebuah upaya untuk merusak atau mempertanyakan reputasi seseorang dengan mengeluarkan propaganda negatif. Menyebar hoaks adalah bagian yang tak terpisahkan dari kampanye hitam itu.
Menanggapi hal tersebut, beberapa tawaran penulis agar peredaran hoaks jelang Pemilu dapat ditekan atau setidaknya membuat pembaca lebih bijak ketika menerima informasi sesat seperti ini.
Pertama, bergabung dengan komunitas anti hoaks. Terlibat aktif dalam kumpulan-kumpulan pegiat anti hoaks sangat membantu memvalidasi kebenaran dari sebuah informasi, membuka wawasan dan belajar bersikap lebih bijak ketika menerima suatu berita yang bersifat provokatif dan mengandung ujaran kebencian.
Saat ini ada banyak komunitas anti hoaks di media sosial. Sebut saja fanpage Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH) di Facebook. Komunitas-komunitas seperti ini akan banyak membantu pembaca dari serangan informasi sesat. Masih banyak komunitas dan grup diskusi lainnya yang dapat diikuti di media sosial. Intinya bergabung dan terlibat aktiflah di forum-forum pegiat anti hoaks, agar terhindar atau setidaknya mampu meminimalisir hoaks.
Kedua, manfaat tools pencegah hoaks. Salah satunya dengan Hoax Buster Tools (HBT). Aplikasi penangkal hoaks buatan anak bangsa yang di dicetuskan oleh Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) ini diresmikan Menkominfo pada 12 Januari 2018 lalu.
Tools lain yang dapat digunakan adalah Hoax Analyzer. Atau bisa juga mencoba cara lebih mudah dengan mengetik langsung judul informasi yang dicurigai hoaks ke mesin pencarian Google dengan menambah kata hoax di belakang judul.
Contoh, Jokowi PKI Hoax, lalu enter. Google akan menampilkan informasi yang berkaitan, dari sumber media-media besar terverifikasi Dewan Pers di urutan atas. Jika informasi tersebut hoaks, maka akan terdeteksi dengan mudah di sana.
Ketiga, banyak membaca. Kegiatan melahap buku, jurnal, artikel dan infomasi dari sumber terverifikasi akan memperluas khazanah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan untuk bersikap lebih bijak dalam memandang sesuatu. Tidak mudah tersulut amarah ketika menerima hoaks dan tahu bagaimana cara bersikap ketika berhadapan dengan informasi sesat itu.
Di samping mencegah hoaks, kita juga dituntut untuk terus berupaya menjaga jari ini agar tidak ikut menyebar berita sesat kepada orang lain, baik di media sosial maupun di media pengirim pesan. Ingat, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat mejerat siapa saja yang berhubungan dengan menciptakan atau ikut menyebar hoaks.
Pada akhirnya, pemilih cerdas adalah mereka yang manaruh pilihannya kepada calon pemimpin terbaik dari yang terbaik. Melihat dengan jernih tanpa terafiliasi hoaks, fitnah dan adu domba. Dengan demikian, kita semua berharap agar Pemilu 2019 ini sukses, berjalan damai, berkualitas dan bermartabat serta terwujudnya keberlanjutan pembangunan nasional sebagaimana cita-cita kita bersama rakyat Indonesia.