Oleh : Ismail
Pada tahun ini tepatnya bulan April lalu, tensi politik di Indonesia sangatlah memanas, sentimen masyarakat terhadap sosok pemimpin negara tak henti-hentinya menjadi perbincangan dari segi manapun, baik sosial, politik, ekonomi bahkan agama.
Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling melelahkan, meski KPU telah resmi mengumumkan dan menyelesaikan rekapitulasi nasional pilpres maupun pileg sebelum tanggal 21 Mei 2019, Penetapan Presiden dan Wakil Presiden terpilih masih menunggu hasil gugatan dari kubu yang kalah ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Selain itu kita juga tengah menunggu pembentukan lembaga – lembaga legislatif baru, yakni DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dan MPR yang akan terbentuk dari DPR dan DPD.
Baca Juga
Masyarakat Indonesia juga menantikan pemerintahan berlanjut sesuai dengan hasil Pilpres, apapun hasilnya dan siapapun yang terpilih mudah – mudahan dapat mewujudkan sistem pemerintahan baru yang akan terwujud dalam kabinet yang terdiri dari orang – orang yang benar – benar ahli, berintegritas dan siap bekerja keras untuk kemakmuran negeri ini.
Kita tentu berharap agar kinerja pemerintahan yang baru tersebut tidak terganggu oleh hal non teknis sebagai imbas dari keterbelahan masyarakat karena perbedaan pilihan politik dalam pemilu. Semoga dengan pembaruan kabinet yang ada, pemerintah dapat merangkul serta mengakomodasi kepentingan semua pihak, sehingga polaritas yang terjadi seperti politik bernuansa agama ataupun politik identitas dapat bersatu kembali, tanpa adanya kubu 01 maupun 02.
Jangan sampai politik identitas menjadikan bangsa tidak akur, seperti kisah pengemudi taksi online yang memaksa penumpangnya turun di jalan hanya karena berbeda pilihan capres dan dirinya tidak berhijab, hal ini tentu tidak mencerminkan nilai – nilai Indonesia yang menjunjung tinggi kebhinekaan.
Hal tersebut sudah semestinya menjadi evaluasi bagi elite politik dalam membangun narasi publik, jangan sampai para elite politik hanya mengejar kemenangan namun abai memberikan keteladanan tentang cara bagaimana semestinya berkompetisi secara sehat dan elegan.
Tentu semua pihak dapat turut serta dalam upaya membangun Indonesia, dengan disiplin ilmunya masing – masing, perjuangan untuk mempersatukan Indonesia memang bukan hal yang mudah, untuk itu semua elemen harus terlibat dalam merajut merah putih yang sempat terkoyak oleh gentingnya pemilu serentak.
Ibaratnya, bendera merah putih yang sempat terkoyak oleh perbedaan, sudah saatnya kita rajut kembali, politik agama yang menggunakan simbol – simbol agama secara tidak tepat, fitnah dan ujaran kebencian semoga tidak terjadi lagi di masa depan. Anggaplah hal tersebut sebagai cerminan darurat politik identitas, karena identitas tunggal kita adalah Indonesia.
Membangun Indonesia tidak hanya dengan membangun sebuah pemikiran yang besar untuk menyelesaikan permasalahan di Indonesia, menunjukkan toleransi terhadap sesama warga Indonesia yang bhineka juga termasuk salah satu langkah membangun Indonesia, karena tidak mungkin pembangunan dapat berjalan dengan baik jika rasa persatuan dan persaudaraan masih terkoyak hanya karena perbedaan baik SARA maupun Politik Identitas.
Kader maupun simpatisan politik sudah semestinya menyadari akan nilai – nilai pancasila, dimana pancasila mengandung moral – moral yang menjadi tuntunan bangsa dalam bersikap sebagai warga negara Indonesia, karena Pancasila merupakan identitas tunggal bangsa Indonesia.
Rasa keindonesiaan kita tercermin dalam ideologi negara pancasila, sehingga kampanye dalam pileg dan pilpres lima tahun yang akan datang sudah semestinya tak lagi diricuhkan dengan politik identitas yang memecah-belah persatuan, melainkan dimeriahkan oleh adu strategi, adu program dan adu gagasan yang ditawarkan oleh para kontestan politik, sehingga tak ada narasi dekstrutktif yang bernada provokatif ataupun hoax yang menyesatkan publik.
Kampanye politik tentu harus mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh, sehingga dengan adanya kampanye yang dilakukan oleh tokoh politik maupun partai politik, akan menambah wawasan politik masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses politik yang ada, seperti keikutsertaan dalam pemilu misalnya.
Memang pemilu pada April 2019 lalu tak lepas dari potensi konflik yang kompleks jika tidak ada kesadaran dari peserta maupun simpatisan pemilu untuk melakukan kampanye secara bermartabat, tertib dan taat pada aturan yang ada. Maka dengan demikian, sudah sepatutnya kita mampu menahan diri dan tetap memiliki kesadaran bersama bahwa identitas kita adalah Indonesia.