Oleh : Aldia Putra (Pengamat Sosial dan Politik)
Tentu masyarakat sempat bertanya – tanya, mengapa di Indonesia kerap menjadi sasaran terorisme.
Mengapa pelakunya justru warga negara Indonesia, yang sering teridentifikasi berkaitan dengan kelompok – kelompok tertentu.
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokrasi di Indonesia, telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam Radikal.
Baca Juga
Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Dalam korelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat, Akan tetapi, gerakan gerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam.
Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun adapula yang memperjuangkan berdirinya “negara islam Indonesia”, disamping itu pula ada yuang memperjuangkan berdirinya “khilafah islamiyah”.
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia. Dua isu tersebut telah menyebabkan Islam sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya.
Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.
Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan – gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya.
Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia.
Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.
Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untu mengamalkan dan menerapkan ajaran agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.
Gerakan radikalisme di Indonesia terutama di lingkungan masjid tentu dapat merugikan ketatanegaraan NKRI dan juga tidak sesuai dengan Pancasila. Radikalisme dapat menjadikan negara dipandang rendah oleh bangsa lain sehingga akan berdampak buruk pada masa depan negara.
Munculnya gerakan radikalisme merupakan suatu reaksi yang dilakukan karena berlakunya kebijakan global Amerika serta negara barat lainnya, terutama keberadaan negara Yahudi yang bernama Israel.
Sebenarnya para kaum dan golongan para terorisme ingin menolak adanya hal tersebut dengan tujuan untuk berjihad di jalan Allah, tetapi cara mereka melakukan jihad merugikan banyak orang yang bukan merupakan sasaran mereka, sehingga hal ini akan sangat merusak berbagai tatanan kehidupan baik di bidang ekonomi, sosial, politik, negara ataupun agama.
Ideologi memegang peranan yang sangat penting bagi kekuatan negara.
Para pendiri bangsa dan negara melalui musyawarah untuk mufakat mencapai kesepakatan luhur tentang Pancasila sebagai dasar negara, Bangsa yang sangat besar dan majemuk ini berhak dan membutuhkan sebuah payung integratif yang kuat dengan norma – norma yang dapat menopang sebuah peradaban besar.
Radikal di masyarakat saat ini umumnya cenderung dipandang dari penampilan fisik saja. Contohnya mereka yang bercadar, berjenggot atau menggunakan celana cingkrang.
Padahal kelompok salafi yang berpenampilan seperti itu adalah kaum yang memegang teguh shalat 5 waktu dan Al – Qur’an, sangat antikekerasan dan bahkan mengajak anggota jemaahnya untuk mendukung pemerintahan siapapun yang menjabat saat itu.
Dalam pembahasan terkait radikalisme, sebaiknya disebutkan secara spesifik nama organisasi dan ideologi yang menjadi afiliasinya, misalnya Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dengan ideologi ISIS. Oleh sebab itu, masyarakat seharusnya mulai dapat memilih organisasi apa yang disebut radikal dan mengancam NKRI daripada menyebut radikalisme secara keseluruhan.
Masyarakat perlu untuk dewasa dan tidak menutup mata dengan adanya segelintir pemuka agama yang gemar memprovokasi. Sebagai masyarakat, kita tentu harus mampu memilah dan memilih kajian ilmu agama agar tidak terperosok ke dalam jurang radikalisme.
Menjelang kontestasi politik, sudah sepatutnya ulama berperan dalam menyejukkan suhu politik yang kian memanas, bukan lantas menambahkan bara api perpecahan dengan ujaran yang bernada provokasi.
Penanganan radikalisme di Indonesia tentu tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah. Masyarakat juga diminta untuk menghindari mereka yang secara terang – terangan menentang Pancasila dan meyakini ideologi yang baru yang tidak sesuai dengan ideologi Bangsa Indonesia. Terlebih lagi jika sampai ada golongan tertentu yang mengajak masyarakat untuk berperilaku / bersikap intoleran terhadap sesama.
Tanggung jawab menjaga masjid dari upaya radikalisme bukan saja tugas pemerintah. Namun setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk membela negara. Sehingga masjid dapat kembali pada fungsinya, yaitu sebagai tempat beribadah dan berdoa kepada Allah SWT.