Oleh : Muhammad Ridwan
Polemik Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) memasuki babak baru seiring adanya permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Semua pihak mendukung proses ini, sehingga diharapkan tidak terjadi peraturan yang saling tumpang tindih serta dapat memicu kekisruhan.
Upaya “penghormatan” terhadap proses Judicial review UU KPK ke ranah MK merupakan suatu hal yang dinilai wajar dan sesuai ketentuan hukum negara. Sebab, dalam prosesi tersebut akan ada segala kemungkinan yang terjadi. Sehingga perlu adanya toleransi bagi pihak MK untuk menelaah kembali UU KPK yang dikritisi oleh banyak pihak. Toh, substansi dari UU tersebut ditengarai tidak keseluruhan ditolak. Hanya ada sejumlah poin yang dianggap tidak pas.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah lembaga Mahkamah Agung serta badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Baca Juga
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi ialah salah satu eksekutor kekuasaan kehakiman selain lembaga tinggi Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman bersifat merdeka guna menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mana bertugas untuk mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan determinasi UUD 1945.
Dengan demikian, MK memang memiliki kewenangan khusus dalam memutuskan peradilan semacam ini. Meski tak menampik, bahwa Presiden bisa langsung menerbitkan Perppu. Hal ini akan dijadikan sebuah pengabaian terhadap MK. Sehingga penundaan pengeluaran Perppu ini dirasa sudah tepat. Apalagi, negara tidak sedang dalam status kegentingan yang sangat mendesak, selain itu negara juga tidak berada dalam status kekosongan pemerintahan.
Sebelumnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan pemerintah akan menghormati siapapun yang mengajukan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk para pimpinan KPK itu sendiri. Pramono menyebut bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Diketahui, terdapat tiga Komisioner KPK Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, beserta Saut Situmorang mengajukan uji materi atau judicial review terhadap UU KPK. Selain mereka, ada kelompok masyarakat yang menamakan diri Tim Advokasi UU KPK juga mengajukan gugatan yang sama.
Pramono mengutarakan jika semua pihak harus menghormati pengajuan uji materi itu karena sudah masuk dalam ranah hukum di MK. Politikus PDI Perjuangan ini juga menambahkan, bahwa pemerintahan akan menunggu apapun yang diputuskan oleh pihak MK.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD tidak mempermasalahkan uji materi UU KPK di MK yang telah diajukan oleh sejumlah pimpinan KPK. Menurutnya, langkah tersebut akan memberi titik terang atas polemik UU KPK yang tengah terjadi. Mahfud menuturkan uji materi di MK dinilai akan menyinkronkan perbedaan pendapat antara kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap UU KPK. Ia menyatakan perbedaan atau kesamaan pandangan dengan pemerintah terhadap UU KPK juga akan mengalami pertemuan dalam sidang tersebut.
Menurut Pakar Hukum Pidana, Indriyanto Seno Adji, menilai bahwa Sikap Presiden Jokowi ini sebagai bentuk penghormatan kepada MK yang memiliki legitimasi konstitusional sebagai kekuasaan lembaga yudikatif.
Dikatakan, Jokowi memiliki diskresi penuh guna memutuskan bahwa jalur legitimasi melalui putusan MK merupakan pilihan dengan legalitas yang sempurna. Maka dari itu, jauh lebih baik apabila semua komponen yang berkepentingan tetap menunggu hasil pemeriksaan yang masih berlangsung. Sebab, putusan MK ini mempunyai sifat yang final dan mengikat.
Menurut pakar hukum ini, kendati Perppu merupakan hak prerogatif Presiden yang bersifat subjektif, namun penerbitan Perppu KPK akan menjadi tidak konstitusional. Karena, Perppu tersebut tidak memenuhi syarat kondisi atau dalam keadaan “kegentingan yang memaksa” sesuai syarat Pasal 22 UUD 1945 beserta Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dilihat secara substansial, dengan ada atau tidak UU KPK yang baru, penegakan hukum masih terus tetap berjalan. Proses penyelidikan menggunakan metode operasi tangkap tangan (OTT), penyidikan, penuntutan, hingga proses di pengadilan tetap mempunyai legitimasi proyustitia. Sehingga tak benar jika pandangan bahwa UU KPK yang paling anyar ini merupakan bentuk pelemahan KPK. Dirinya menganggap jika respon tersebut sebagai wujud misleading opini publik.
Akhirnya, dapat disimpulkan sikap Presiden Jokowi untuk menghormati proses Judicial Review UU KPK di MK ini bukanlah tanpa dasar, sebagaimana yang sering dituduhkan. Pendapat misleading (menyesatkan) publik bahwa Jokowi ingin melemahkan kinerja KPK serta mengulur waktu harus dibuang jauh-jauh. Sebab, orang RI nomor 1 Di Indonesia ini sudah berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku. Mari, lebih bijak menelaah suatu permasalahan, agar tidak terjadi keruwetan yang hanya akan menambah daftar panjang masalah kenegaraan.