Oleh : Agnes lituhayu
Menjelang pemilu 2019 pada April nanti, suhu politik negeri ini kian menanjak ke titik terpanas. Terutama ajang pilpres yang mempertemukan kembali dua calon yang sempat bersaing pada pemilihan sebelumnya. Pendukung masing-masing pasangan calon pasti mengunggulkan tuannya sekaligus berupaya mengalahkan kubu lawan. Tetapi ada yang berbeda dari ramainya suasana politik kali ini dibanding periode sebelumnya. Sosial media kini turut bermain dalam keriuhan perang opini dari masing-masing pilihan politik. Pengaruhnya semakin nyata dirasakan. Menjadi senjata baru yang kian populer, karena dianggap lebih efektif dan efisien untuk menyebar isu dari pada menggunakan cara lama. Komunikasi politik secara digital dirasa efektif menggiring opini yang beredar di tengah masyarakat penggunanya, hingga menimbulkan aksi komunal berupa dukungan atau serangan terhadap salah satu calon.
Sayangnya, beberapa oknum keliru memanfaatkan kemudahan akses informasi dan penyebarannya ini. Muncul berbagai berita palsu atau hoax yang cepat beredar di sosial media. Kemudahan cara menyebarluaskan info, membuat hoax tak terbendung melesat dengan cepat, menyebar di tengah pengguna sosial media. Dari satu akun berpindah ke banyak akun yang lain, hanya dalam hitungan detik. Terlebih jika masuk ke percakapan maya yang dikoordinir dalam bentuk grup digital. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mendata setidaknya ada 1.000 berita hoax yang disebar dari awal masa kampanye sampai sekarang. Berita tersebut menyerang kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca Juga
“Menurut mesin scrolling kami, ada 1.000 lebih konten hoax yang berkaitan dengan konten politik dan beberapa instrumen pendukungnya, terkait partai, kampanye menjelang pilpres dan pileg ini”, ucap plt Kabiro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, di Ibis Budget Hotel, Jakarta Pusat (detiknews, 19 Oktober 2018).
Mungkin masyarakat masih mengingat bagaimana hebohnya jagad maya saat tersebar informasi seorang kritikus politik yang dianiaya sejumlah orang. Kala itu semua bereaksi cepat. Sosial media gempar dan gencar menyebarluaskan beritanya. Menjadi suatu berita viral. Salah satu kubu paslon menyerang kubu lawan yang dianggap bertanggung jawab dalam penyerangan tokoh tersebut. Bahkan mendorong ketegangan politik di dunia nyata. Belakangan pihak kepolisian menyatakan itu berita hoax, bahkan telah diakui oleh pemeran utamanya bahwa beliau memang sedang berbohong. Entah apa tujuan dan motifnya. Yang jelas, perseteruan politik makin tajam saat itu.
Kali lain, tersebar isu miring terkait pernyataan salah satu cawapres yang pesimis terhadap kemampuan atlet nasional meraih juara di Asian Games 2018. Para haters tak tinggal diam. Tanpa membuang waktu, berita yang masih simpang siur ini dimanfaatkan guna menyerang paslon lawan, dibumbui isu lain hingga sang cawapres makin terkesan jahat dan tak layak pilih. Hoax pun tercipta dan tersebar luas. Pihak pendukung meradang, tak terima jagoannya diserang. Kembali didesain isu lain yang dianggap bisa membalas serangan dan memenangkan peperangan opini sosial media. Begitulah, saling serang dan menjatuhkan tanpa peduli kebingungan masyarakat terhadap kebenaran suatu berita yang tersebar.
Penyebaran hoax yang luar biasa belakangan ini dipengaruhi antara lain oleh semakin terbukanya ruang berpendapat, sebagai konsekuensi penerapan demokrasi di negeri ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Dirut Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto. Dia menambahkan, berkembangnya tekonologi informasi dan komunikasi, serta adanya pasar untuk saling menjatuhkan antar Parpol turut menjadi faktor masifnya penyebaran berita hoax (Suara.com, 14 Agustus 2018).
Meski telah diterbitkan peraturan mengenai penyebaran informasi dengan adanya Undang-Undang ITE, tak cukup membuat pabrik hoax ini berhenti. Selalu ada berita hoax baru yang diproduksi untuk disebar di dunia maya. Hal ini karena selain motif politik, kini mulai muncul motif lain dibalik penyebaran berita hoax. Yaitu motif kapital alias keuntungan materi. Informasi hoax telah menjelma menjadi lahan bisnis baru yang cukup menjanjikan. Dari situs pengukur nilai finansial suatu website bernama Site Worth Traffic, penghasilan pembuat dan pengepul berita hoax untuk satu konten berita palsu yang tayang 1.000 kali akan dibayar USD 1 atau USD 0,04 per klik. Apabila dikunjungi sekitar 487.000 kali, maka didapatkan rupiah sebesar 6,4 juta sebulan. Bisa lebih banyak berlipat-lipat jika pengunjungnya membludak. Setahun saja, mereka bisa mendapatkan miliaran rupiah. Hanya dengan duduk di depan laptop, meramu berita bombastis dari berbagai situs mainstream, lantas menyebarkan ke berbagai platform sosial media (Malangtimes, 1 Juli 2018).
Jika hoax masih dipertahankan menjadi alat tempur menyerang lawan politik, maka masyarakat lah yang sebenarnya merasakan dampak negatifnya. Perpecahan akan terjadi, bahkan semakin menganga lebar antara pihak yang berseberangan pilihan politik. Jauh dari suasana saling menghormati perbedaan pandangan politik. Justru manusia berubah menjadi predator, pemangsa lawan politik. Kebenaran suatu berita akhirnya juga menjadi suatu hal yang sulit dipercaya oleh masyarakat. Mereka bingung, tidak bisa lagi membedakan antara fakta dan berita palsu. Selain itu, berita hoax mampu menjatuhkan pihak tertentu yang menjadi target serangan. Kemendikbud dari twitternya @Kemendikbud_RI (17/4) menyatakan bahwa pelaku kejahatan bisa menurunkan status sosial dari objek berita hoax tersebut. Digunakan untuk mengalahkan kelompok tertentu dalam politik. Kandidat politik akan mengalami kekalahan dengan cara yang tidak adil. Akibat hoax tersebar, muncullah berbagai kerusakan, provokasi, menebar ketakutan dan kebingungan di tengah masyarakat.
Maka benarlah Rasulullah kala dengan tegas beliau bersabda,
“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar” (HR. Muslim no.7).
Bagi seorang muslim, selayaknya sabda Nabi di atas menjadi perhatian khusus dalam menyikapi sebuah informasi yang sampai padanya. Islam sebagai keyakinan mayoritas warga di negeri ini telah mengatur adab penyebaran informasi. Allah memerintahkan untuk memeriksa kebenaran suatu berita terlebih dahulu karena belum tentu semua berita itu benar dan valid. Sebagaimana firmanNya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al Hujurat: 6).
Sangat jelas perintah Allah pada orang beriman untuk selalu meneliti kevalidan suatu informasi sebelum tergesa-gesa menyebarkannya. Melakukan penelusuran terhadap sumber berita dengan cermat atau bertanya pada orang yang lebih memahami mengenai berita tersebut, hingga bisa dipastikan kebenarannya. Terlebih, jika berita tersebut berkaitan dengan kepentingan masyarakat secara luas. Kalaupun telah dibuktikan kebenarannya, tidak harus semuanya disebar, melainkan dilakukan pemilahan. Informasi yang penting dan menambah kemaslahatan di tengah masyarakat hendaknya disebar dengan tujuan kebaikan. Sebaliknya, jika beresiko menimbulkan fitnah dan kerusakan, sebaiknya disimpan sebagai arsip pribadi. Jika prinsip ini diterapkan, maka sepanas apapun suhu politik, penyelenggaraan pemilu 2019 akan berjalan dengan kondusif dan damai, jauh dari fitnah dan kerusakan.