Oleh: Rahmat Kartolo
Kemenangan yang didapatkan oleh Paslon nomor 01 Jokowi – Ma’ruf Amin tampaknya tidak akan berubah meskipun kubu penantang bersikukuh melayangkan gugatan sengketa Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan masyarakat Indonesia telah mengetahui bahwa jauh sebelum pengumuman resmi pada 21 Mei 2019, Prabowo telah berulang kali melaksanakan deklarasi kemenangan berdasarkan hasil survey internalnya, namun anehnya pihak BPN enggan menjabarkan bagaimana cara menghitung hasil surveynya secara umum, padahal hasil quick count dan real count telah sama – sama menunjukkan bahwa Jokowi – Ma’ruf masih lebih unggul dari penantangnya Prabowo – Sandiaga.
Baca Juga
Anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi),Hamdi Muluk, menjelaskan bahwa real count dan quick count tidak akan jauh berbeda jika quick count dilakukan dengan prosedur ilmiah, misalnya tidak memanipulasi sampling, tidak memalsukan formulir C1 dan menjaga semua prosedur ilmiah.
“Hasilnya hanya berbeda dari real count yang dihitung sampai tuntas, paling 0,5 persen sampai 1 persen.”
Sehingga sekalipun Tim Hukum Prabowo – Sandiaga telah melayangkan gugatan ke MK, tentu kemenangan bagi Jokowi – Ma’ruf Amin diperkirakan tidak akan berubah.
Apalagi kubu Prabowo – Sandiaga dinilai tidak konsisten dalam mengklaim angka kemenangan pasca pilpres. Dalam rilis terbarunya Ketua Tim Hukum Prabowo – Sandiaga, Bambang Widjojanto mengklaim bahwa Prabowo – Sandiaga seharusnya memenangkan pilpres dengan perolehan suara sebesar 71.247.792 suara atau setara dengan 52 persen suara. Sehingga perolehan untuk kubu 01 sebesar 62.886.362 atau setara dengan 48 persen.
Namun kenyataannya, jumlah suara yang dinyatakan oleh Bambang berbeda dengan yang diajukan dalam gugatan permohonan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Dalam permohonannya mereka justru mengklaim menang dengan torehan 68.650.239 suara, sedangkan perolehan suara untuk Jokowi – Ma’ruf Amin adalah 63.573.169 suara.
Perubahan klaim kemenangan ini sebenarnya bukan kali pertama dilakukan oleh Kubu Prabowo – Sandiaga, dimana setelah pencoblosan pada 17 April, Prabowo mengakui kemenangan dengan perolehan suara hingga 62 persen.
Dirinya bahkan telah melakukan hal yang sama pada tahun 2014, yaitu sujud syukur atas klaim kemenangan 62 persen, dan beberapa waktu kemudian klaim kemenangan Prabowo – Sandiaga juga berubah menjadi 58 persen dan tetap merasa unggul dari capres Petahana
Tentu masyarakat dibuat bingung dengan klaim kemenangan yang inkonsisten tersebut, meski demikian pihak Jokowi – Ma’ruf tampak tidak terlalu menanggapinya dan lebih percaya pada hasil real count dari KPU yang merupakan lembaga independen penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia.
Sejatinya KPU telah merilis hasil rekapitulasi suara secara manual pada 21 Mei. Dalam hasil penghitungan suara tersebut, KPU justru membantah semua klaim kemenangan yang dideklarasikan oleh Prabowo Subianto.
Dari hasil rekapitulasi suara manual tersebut, Jokowi – Ma’ruf masih lebih unggul dengan torehan angka 85.607.362 suara sedangkan Prabowo – Sandiaga hanya mendapatkan torehan suara sebesar 68.650.239 suara.
Dengan demikian tentu kemenangan Jokowi – Ma’ruf akan sulit digantikan oleh penantangnya meskipun pihak 02 telah membentuk tim Hukum dan melayangkan berbagai gugatan.
Nyatanya Kubu Jokowi – Ma’ruf Amin lebih unggul dari segi angka (real count) dan popularitas baik dari kalangan pemilih muda maupun kalangan minoritas yang ada di Indonesia.
Dalam kesempatan berbeda, Gubernur Bali I Wayan Koster sempat menyinggung kemenangan telak Jokowi dalam pemilihan presiden lalu saat menyampaikan sambutan pad pawai pembukaan pekan kesenian Bali di Denpasar.
Di pulau dewata tersebut, pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin berhasil meraih kemenangan fantastis dengan persentase suara mencapai 91,68 persen, paling tinggi di Indonesia.
Sebelumnya tim Hukum Prabowo – Sandi juga sempat mempermasalahkan jabatan Ma’ruf Amin dalam 2 Bank Syariah yaitu BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri dimana Ma’ruf Amin menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah pada kedua bank tersebut.
Dengan posisi tersebut pihak 02 lantas mengajukan permohonan agar MK mendiskualifikasi Ma’ruf Amin.
Namun tuduhan tersebut ternyata tidaklah berbobot, hal ini karena jabatan Dewan Pengawas Syariah bukanlah pejabat ataupun karyawan seperti yang tertulis pada UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Selain itu permohonan atas diskualifikasinya Ma’ruf Amin adalah sesuatu yang berlebihan, karena apa yang dilakukan oleh cawapres nomor 01 tersebut tidak bekerja yang sifatnya mengurus bank dalam kesehariannya, namun hanya memberikan masukan sesuai prinsip – prinsip syariah.