Oleh : Ariyana Rismayanti
Dewasa ini, untuk mendapatkan informasi sangatlah mudah. Tak hanya untuk mendapatkan informasi, membagikan informasi pun tak serumit mengirim surat ke kantor pos lagi. Hal ini membuat naiknya intensitas berita atau informasi yang bersebaran dan muncul melalui media sosial. Namun, dibalik semua kemudahan yang telah tersedia di era digitalisasi ini, terdapat juga beberapa sisi negatif yang tersisip. Yaitu pemfilteran informasi yang beranjak susah. Menjadi begitu sulit saat ini untuk memilih mana informasi yang benar serta akurat, dan mana informasi yang hanya bualan demi mendapatkan keuntungan bagi kepentingan pribadi, golongan, ataupun kelompok. Sindrom yang demikian juga kian hari kian menjadi penghangat isu-isu social terkini. Informasi-informasi yang nyeleneh dan tidak akurat ini, kini popular dengan sebutan hoax. Menurut KBBI, hoaks (hoax) : berita bohong. Bagi beberapa orang, hoaks adalah hal yang sangat di hindari. Atau bahkan beberapa orang tersebut menganggap hoaks adalah musuh bersama.
Baca Juga
Pada tahun 2016, Kamus Oxford mentasbihkan kata “post-truth” sebagai “kata tahun ini”. Dari kamus Oxford dijelaskan, kata ini untuk mendefinisikan situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoaks punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya. Namun, post truth ini berbeda dengan hoaks. Post truth lebih menekankan kepada opini penulis, sehingga opini penulis inilah yang dianggap sebagai “kebenaran” dan fakta apapun akan tenggelam dengan kerasnya opini dari penulis ini. Dampaknya di Indonesia, kebebasan untuk berpendapat banyak disalah gunakan dengan hal yang sedemikian itu.
Definisi post-truth lebih jelas dikemukakan blogger David Roberts. Dalam postingan Roberts mengatakan, post-truth politics adalah budaya politik ketika politik nyaris terputus sepenuhnya dari persoalan kebijakan atau substansi legislasi. Post-truth politic terlihat dalam pemilihan gubernur negara bagian Ontario, AS. Di Eropa, post-truth politic terlihat saat referendum Brexit, tentang keanggotaan Inggris di Uni Eropa, dan pemilihan presiden AS 2016 yang memenangkan Donald Trump.
Kemenangan Trump dalam pemilu AS mungkin yang paling menarik. Selama kampanye, semakin sering media menyiarkan pesan negatif yang dianggap bernuansa kebohongan Trump, popularitas sang taipan properti terus naik. Puncaknya, Trump terpilih sebagai presiden AS berkat sejumlah pesan kampanye kontroversialnya tersebut. Ini membuat metode pemeriksaan fakta yang dikembangkan New York Times untuk meluruskan atau membantah pernyataan Trump sia-sia.
Di Indonesia, post-truth politic muncul saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta, yang menghadapkan Basuki Tjahaja Purnama dengan Anies Baswedan. Dua calon berasal dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda. Ujaran kebencian dan potongan-potongan informasi yang tak utuh dari beberapa peristiwa bertebaran bak hujan yang tak kunjung reda di dunia maya. Sepanjang kampanye Pilkada DKI Jakarta, media sosial dipenuhi ujaran kebencian, berita hoaks, dan informasi menyesatkan. Aktor di belakang semua itu tentu bisa siapa saja dan dari kalangan mana saja, karena di era digital ini, siapa pun bisa menyebarkan informasi dan menulis berita peristiwa layaknya wartawan. Muncul polarisasi di masyarakat, saling serang secara verbal, yang menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan konflik horizontal. Dampaknya pun suka tak suka masih tersisa hingga saat ini di masyarakat, khususnya Ibu Kota.
Perlu di ingat, menurut PKPU No 23 tahun 2018 pasal 69 ayat (1) tertulis bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang untuk mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat membahayakan keutuhan Negara. Selain itu, kampanye juga dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain. Dalam aturan ini juga tertulis aturan mengenai larangan adu domba, ancaman kekerasan, pengerusakan alat kampanye dan pengunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, atau tempat pendidikan. Serta pelarangan pemberian uang atau materi lainnya.
Jelang Pemilihan Presiden 2019 ini, situasi di berbagai media sosial semakin tidak terkontrol sebagai salah satu media dalam berkampanye. Dua kubu saling tuduh menyebarkan berita hoaks. Mengesampingkan fakta, dan mengedepankan opini sebagai kebenaran. Kenyataannya, kubu A hanya akan mengikuti berita yang menonjolkan kebaikan tentang kubu A. Begitu pun kubu B, hanya akan mengikuti berita yang menonjolkan kebaikan soal kubu B. Dan tak banyak yang memilih untuk masa bodoh akan hal ini. Beberapa orang menganggap media sosial tempat paling kejam dan menjenuhkan ketika berita yang di suguhkan adalah hal-hal yang riuh tak menenangkan. Bahkan mengancam beberapa orang, dan menyulut api perdamaian. Padahal, awalnya media sosial adalah tempat untuk sejenak melepaskan lelah dari sibuknya dunia nyata.
Bukankah bhineka itu anugerah? Bukankah perbedaan itu indah?
Lalu mengapa kita harus memaksa agar terlihat sama rupa dan sama rasa?
Mengapa kita harus saling benci dan marah bila pilihan tidak searah?
Mari kembalikan media sosial kita menjadi tempat mencari informasi yang akurat, dan terpecaya. Bukan di nodai dengan kepentingan pribadi, golongan atau kelompok demi mendapatkan keuntungan. Namun malah membuat banyak orang merasa ragu serta kebingungan. Jika kita telah ragu dengan sesama bangsa, bagaimana jika bangsa lain melihat kekurangan kita dan memilih untuk mengadu domba? Jangan-jangan memang itu yang sedang terjadi pada kita saat ini.
Jika melawan hoaks bersama saja kita tidak mampu, mengapa kita begitu percaya diri bahwa salah satu dari kedua kubu itu mampu untuk membangun Indonesia yang lebih sejahtera?
Perlu kita ketahui, terdapat tiga prinsip dasar kepemimpinan menurut Ki Hajar Dewantara. Pertama adalah Ing Ngarsa sung Tulada, yang artinya di depan memberi teladan. Bukan hanya memberi, melainkan harus menjadi teladan. Kedua adalah Ing Madya Mangun Karsa, yang artinya di tengah membangun kehendak atau niat. Dan yang ketiga adalah Tut Wuri Handayani, yang artinya di belakang memberikan dorongan. Ketiga dasar kepemimpinan ini tidak bisa dipisahkan. Kita harus tahu, kita termasuk dalam komponen tersebut. Yaitu Tut Wuri Handayani (dibelakang memberikan dorongan). Jika kita dengan percaya diri meminta pemimpin kita adil dan mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia sekitar 264 juta ini. Mengapa kita tidak mampu memberikan dorongan dengan hal-hal yang positif kepada pemimpin kita nanti? Mengapa kita mampu meminta kinerja terbaik dari kedua kubu, sedangkan kita hanya sibuk saling adu?
Mari introspeksi diri dan berusaha menghindari penyebaran berita hoaks demi kelancaran demokrasi yang berkualitas dan damai. Demokrasi jangan sampai kita nodai seperti keakuratan informasi. Informasi tidak benar bisa kita perbarui, namun tidak dengan sejarah demokrasi di negeri ini.