JAKARTA – Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik untuk melihat dari berbagai perspektif terkait viralnya ucapan Prabowo Subianto yang mengajak masyarakat untuk memilih salah satu Paslon di Jawa Tengah.
Hal tersebut menanggapi adanya perbedaan pendapat beberapa pihak. Yang menganggap hal itu cawe-cawe, namun disisi lain ada juga yang mengatakan ini tidak ada yang dilanggar.
“Ini sebenarnya perspektifnya dari mana dulu melihatnya kalau perspektifnya misalkan yang namanya para pendukung akan pro terhadap statemen Presiden. Itukan perspektifnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra. Maka kemudian diasumsikan bahwa yah boleh-boleh saja. kan yang didukung itukan yang dapat rekomendasi, tanda tangan dari ketua umum partai atau form B1 KWK. Artinya itu sah-sah saja,” ujar Ramdansyah saat dialog interaktif di Radio Elshinta.
Baca Juga
Meskipun demikian mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta 2008/2009 dan 2011/2012 yang hadir dalam pembacaan putusan MK terkait dengan larangan cawe-cawe pejabat dan TNI/Polri dalam Pemilu mengingatkan bahwa hal tersebut dapat dikenai sanksi berdasarkan putusan MK pada hari Kamis 14 November 2024.
“Namun putusan MK ini harus diturunkan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah atau Peraturan KPU RI. ini yang menjadi persoalan ketika putusan MK ini belum diturunkan dalam peraturan teknis. Ketika jadi presiden, maka mereka yang terpiliha, bukan lagi presiden satu partai atau dari golongan KIM atau KIM plus misalkan tapi juga menjadi Presiden Republik Indonesia, jadi bukan presiden partai lagi,” imbuhnya.
Kemudian jelas Ramdansyah, kalau kita retro ke belakang setelah kemerdekaan itu sampai 1955 kira-kira, birokrasi kita belum ada aturan main, apakah dia boleh berpolitik atau tidak. Belum ada undang-undang yang mengatur itu.
“Sehingga kemudian pada Pemilu pertama di Indonesia. Birokrat saat oti itu bisa ikut partai dimana akhirnya menjadi tidak netral. Akhirnya di tahun 1959-an ada aturan yang mengikat birokrat atau penyelenggara negara itu tidak boleh berpartai politik. Nah ini tentu menarik dari tahun 1959 tidak netralan terjadi. Namun, di era pemerintahan pak Harto nanti itu kemudian diubah lagi artinya secara suprastruktur dalam undang-undang tidak diatur bahwa untuk birokrat harus netral,” ujar Mantan Ketua Panwaslu DKI Jakarta.
Tapi kemudian jelas Ramdansyah, kalau ingin berpartai politik harus mendapat izin dari pimpinan dari birokrat tersebut. Sehingga munculah pada era orde baru yang membuat ambivalen dengan keberadaan Partai Golkar.
“Tapi, secara teori harus netral, tapi faktanya di lapangan ril politik itu Golkar yang tidak mau disebut sebagai partai dimana terdapat Birokrat, ABRI menjadi pengurusnya. Ini menjadi catatan pada orde baru. Tidak netral muncul secara praktik. Secara teori tidak,” jelas Ramdansyah.
Kemudian jelas Ramdansyah, pasca reformasi mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada sampai ada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan birokrat itu netral.
“Kalaupun dia mau melakukan katakanlah kampanye dia harus ada izin. Sabtu dan Minggu adalah hari libur, sehingga sebagian menyatakan bahwa untuk kedua hari itu ada yang bilang harus ijin, sebagian tidak,” jelas Ramdansyah.
“Tetapi pada prinsipnya ketika menjadi birokrat itu sebenarnya wajib netral. Kemudian kalau dia mau melakukan haknya untuk berkampanye tentu saja harus patuh terhadap aturan yang mengatur,” imbuh Ramdansyah.
Saat ditanya presenter apa yang dilakukan Prabowo, apakah ini ruang publik atau ruang privat?
Ramdansyah melihat bahwa statemen ketika di publish di platform Instagram, X, Facebook atau media sosial apapun, bahkan dikutip media tidak ada upaya untuk mengcounter, maka statemen ini merupakan kampanye.
“Jadi sebenarnya yang dipahami oleh saya itu adalah endorse. Endorse dari presiden yang tentu saja sah-sah saja kalau misalkan dia mengikuti misalkan terkait dengan undang-undang, Pasal 71pejabat negara, pejabat daerah dan pejabat aparatus sipil negara, TNI Polri misalkan Kepala desa dan apapun Kan bunyinya dilarang membuat putusan, tindakan. yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon tertentu. Hal-hal seperti inikan sudah jelas larangannya.Tapi boleh misalkan Presiden atau pejabat negara melakukan kampanye, boleh ketika dia mengajukan cuti. Karena ini ada ketentuan untuk itu,” jelas Ramdansyah.
Namun jelas Ramdansyah, sebenarnya pada politik tinggi ketika menjaga etika berpolitik, setelah dia terpilih menjadi presiden idealnya dia tidak lagi menjadi presiden dari partai, tapi presiden rakyat Indonesia, Presiden Republik Indonesia. Maka, idealnya kampanye untuk partai atau kelompok tertentu menjadi kurang etis.
“Ini tentu saja secara etika inikan menjadi kurang etis. Nanti saya lihat apakah pasangan lain seperti pasangan Andika dapat ditemui Presiden untuk mendapat dukungan,” ujarnya.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, kalau melihat konteks dari silang pendapat ini, ia melihat konteksnya dimulai dari hasil survei yang bulan Oktober dari Litbang kompas.
Dalam survei tersebut secara umum elektabilitas paslon nomor urut 01, Andika Perkasa-Hendrar Prihadi mencapai 28,8 persen, unggul tipis dari paslon nomor urut 02, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen yang meraih elektabilitas 28,1 persen. Sisanya 43,1 persen belum menentukan pilihan.
“Inikan selisihnya kecil 0,7 persen artinya kalau dalam ambang margin error sebuah survey, inikan sebenarnya belum ada yang kalah dua duanya. Sama-sama kuat. Tentu saja ini kenapa kemudian kenapa Paslon Lutfi minta dukungan kepada presiden. Ada nggak yang bisikin temen-temen di kantor kepresidenan bahwa ini ada aturannya. Harus dapat izin. Minimal konsultasi ke Bawaslu atau KPU. Ini apakah bentuk kampanye bukan? Dukungan dari Ketua Umum Partai mengajak orang untuk memilih. Ini kampanye, tapi boleh apa tidak? Dari internal partai pasti bilang boleh tapi kemudian dari publik dan Bawaslu akan melakukan penilaian. Sebagaimana kita ketahui Jawa tengah merupakan basis merah atau PDIP, sehingga kampanye Presiden ini adalah sesuatu bagi Paslon,” jelas Ramdansyah.
“Tentu saja lembaga yang punya otoritas penuh terkait hal ini adalah Bawaslu. Nah Bawaslu dengan otoritas yang dimiliki tinggal memutuskan, jangan-jangan sudah ada surat cuti yang disampaikan ke Bawaslu dan KPU. Inikan jadi pengecualian. Tetapi kemudian yah silahkan disampaikan kepada publik. Karena kalau nanti di Jawa Tengah dibiarkan, nanti ada yang minta lagi (dukungan) di Jakarta misalkan atau tempat tempat lain,” beber Ramdansyah.
Sementara itu, dikutip dari KOMPAS.com, Calon gubernur Jawa Tengah nomor urut 2 Ahmad Luthfi buka suara terkait dukungan Ketua Umum Gerindra sekaligus Presiden Prabowo Subianto terhadap dirinya dalam kontestasi Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Menurut Luthfi, dukungan itu diberikan dalam kapasitas Prabowo sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Dukungan itu dia terima saat dirinya dan pasangannya, Taj Yasin menemui Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden Prabowo.
“Beliau adalah Ketua Parpol ya. Saat itu hari Minggu ketemu kami, yang jelas beliau dukung kami,” ujar Luthfi saat konferensi pers usai debat kedua Pilkada Jateng di MAC Ballroom, Kota Semarang, Minggu (10/11/2024)