Sudah bukan hal yang sifatnya rahasia lagi bahwa pemilu 2019 telah memanfatkan berita hoax sebagai cara untuk manjatuhkan elektabilitas pasangan calon tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dari data Kementrian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) yang menyebutkan bahwa ada 1.000 berita hoax selama masa kampanye pemilu, dari awal pemilu sampai sekarang.
Selain itu, dari 1.000 berita hoax yang tersebar, Kemenkominfo telah menutup sekitar 20 akun media sosial yang meraka anggap sebagai akun yang khusus diciptakan untuk menyebarkan hoax. Jika kita berusaha untuk meneliti lebih mendalam, maka kita dapat menyimpulakan bahwa adanya keterlibatan antara kelompok dari masing-masing paslon yang berusa untuk mempermainkan opini publik dengan berita hoax.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa berita hoax, telah menjadi penyakit dari perkembangan teknologi yang ada di Indonesia. Hal ini kemudian didukung dengan masyarakat yang tidak peduli menggunakan sosial media untuk mencari visi misi, program-program yang dijanjikan dan rekam jejak dari calon presiden dan calon wakil presidan. Tetapi lebih tertarik dengan hal yang berbaur ujaran kebenciaan, hoax, dan fitnah.
Baca Juga
Padahal jika memahami dampak dari ujaran kebencian, hoax, dan fitnah. Maka hal itu sudah merusak demokrasi bangsa Indonesia dan sekaligus mencederai pemikiran masyarakat mengenai politik, padahal dalam sejarah politik itu ada sebagai usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (the good of life). Tapi pada realitanya sekarang politik yang dijadikan sebagai tempat untuk memperkaya diri. Tawaran materil yang menggiurkan menjadikan kita lupa mengenai hal dasar dari politik dan demokrasi itu sendiri.
Tentu bukan tanpa alasan mengapa berita hoax menjadi hal yang mencederai demokrasi kita sekarang. Hal ini didasari karena adanya 40% suara milinial dari umur 18-35 tahun yang digadang-gadang menjadi penentu menangnya calon tertentu pada pemilu 2019. Kesempatan kampanye yang diberikan KPU sering kali menjadi pintu dasar terbukanya demokrasi yang tidak sehat, berbagai macam cara dihalalkan untuk mencapai kepentingan individu atau pun beberapa kelompok tertentu. Hal itu tidak bisa lepas dari yang namanya kekuasaan. Kekuasaan yang menarik sikologi para calon untuk berfikir segala cara demi mencapai yang mereka inginkan. Ini pulalah yang dilakukan kepada milenial, para calon berlomba-lomba untuk mendapatkan hati milenial, dengan saling menawarkan visi dan misi dan tidak lupa menyebarkan berita hoax.
Jika benar hasrat kekuasaan menjadi alasan para paslon dalam mempermainkan berita. Maka para paslon sedikit mengalami kedangkalan dalam ilmu pengetahuan. Karena pada hakikatnya kekuasaan itu ada akibat dari terbatasnya sumber alam pada waktu itu, yang memaksa masyarakat harus mengatur kehidupan kolektifnya dengan baik. Hal ini yang menimbulkan adanya perbedaan pendapat mengenai cara untuk mencapai kehidupan yang lebih baik diantara manusia pada waktu itu. Akan tetapi semua pengamat setuju bahwa tujuan itu hanya dapat dicapai jika memiliki kekuasaan suatu wilayah tertentu (negara atau sistem politik). Jadi secara epistimologi kekuasaan bukan dijadikan sebagai alasan untuk menipu publik dengan berita hoax.
Hal yang haram dalam kehidupan berdemokrasi berupa berita hoax, tentu sudah menjadi hal yang lumrah dinegara Indonesia bahkan dunia karena hal itu didasari karena media sosial yang terbuka dan bebas. Hadirnya jurnalisme yang tak bermoral, juga tak bisa dipungkiri terlibat dalam penyebaran berita hoax yang merugikan kehidupan berdemokrasi di negara Indonesia.
Sesungguhnya yang mampu mengendalikan berita adalah negara sebagai kekuatan tertinggi dengan melibatkan unsur trias-politika. Ditambah pengawasan dari masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam negara agar hasrat kekuasaan tidak memanfaatkan berita di pemilu 2019. Sedangkan, masyarakat sendiri harus meningkatkan IQ dalam menyeleksi informasi. Apakah ini sebuah solusi? Jawabannya, sepertinya iya. Masalahnya, apakah efektif? Belom tentu juga!
Dalam hal ini milenial harus mampu menumbuhkan kewarasan dalam menyeleksi paslon terbaik dalam pemilu 2019, disamping sebagai penentu dipemilu 2019, Indonesia juga memerlukan pemimpin yang mampu melanjutkan pembangunan nasional yang membuat masyarakat mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan sebaliknya!