Dengan Hoax dan Kebencian, Pemilu 2019 Di Bayang Kerusuhan, Apa Upaya Kita?

Oleh: Sarah Muthiah

Jarum jam belum sampai di angka 7 pagi, ketika serombongan pemuda yang mengaku simpatisan Alliance, kelompok oposisi Honduras yang dipimpin oleh mantan wartawan olahraga keturunan Palestina, Salvador Nasralla mendatangi rumah Martinuz, seorang karyawan perusahaan retail di Tegucigalpa, Ibukota Honduras.

Mereka merusak pagar rumah Martinuz, menuntut Martinuz bersaksi di pengadilan untuk membuka dugaan kecurangan Pemilu dari petahana, Juan Orlando Hernandez dari partai Nasional. Martinuz adalah anggota “KPU”nya Honduras. Martinuz dipaksa membuka mulut, dan saat itu Martinuz tetap bertahan pada prinsipnya bahwa Pemilu sudah dilakukan sesuai dengan undang-undang.

Baca Juga

Akibatnya, rombongan pemuda tadi mengamuk, rumah Martinuz di bakar dan merembet kepada kerusuhan massal di Honduras. Terjadi bentrokan antar massa dan kepolisian, total 11 orang meninggal dalam kasus Honduras pasca pemilu.
Hal serupa juga terjadi di Kenya pada pemilu 2007.

Kerusuhan terjadi ketika oposisi Raila Odinga tidak terima hasil pemilu yang memenangkan petahana Mwai Kibaki. Kerusuhan memakan korban 1300 orang dari data resmi, data tak resmi melaporkan angka sampai 3 kali lipatnya.

Kerusuhan terjadi lagi pada Pemilu 2013, dengan lakon yang sama, Raila Odinga pada oposisi melawan Uhuru Kenyatta, putra Presiden pertama Kenya Jomo Kenyatta. Odinga kalah lagi, rusuh lagi.

Jauh kebelakang, kita melihat pula masa kelam Jerman dalam proses Pemilu, saat itu tahun 1933. Sebelum Pemilu dilangsungkan, Reichskanzler saat itu, Adolf Hitler dan partai Nazi-nya menangkat propaganda kasus terbakarnya rumah parlemen Reichstag dan ancaman penggulingan oleh Komunis sebagai menu utama.
Propaganda Nazi saat itu sangat massif dan terencana matang.

Tuduhan Nazi terhadap Komunis sebagai biang keladi terbakarnya rumah parlemen dijalankan dengan aksi. Kekayaan partai komunis Jerman, KPD ditarik. Dokumen KPD di jarah, ribuan pendukung KPD dan Demokrat menjadi korban dan kabur keluar negeri.

Ketika Pemilu berlangsung, partainya Hitler, NSPAD hanya meraih 49%, tidak cukup untuk memerintah tunggal. Dilakukanlah teror dan ketakutan di masyarakat, termasuk kepada Yahudi. Hasilnya partai KPD hancur dan muncul hanya 1 partai, partai Nasionalsosialis, di bawah kendali penuh Nazi.

Tiga kasus di atas adalah kasus dimana Pemilu yang seharusnya menjadi proses demokrasi dalam memilih pemimpin berbalik menjadi mimpi buruk. Pemilu bukan memajukan negara, malah menjadi kemunduran.

Tiga negara di atas mengalami masa kelam politik selepas kerusuhan Pemilu. Honduras dan Kenya tak juga naik menjadi negara berkembang dengan strata baik, mereka jauh dibawah Indonesia. Pun Jerman yang kalah habis-habisan di Perang Dunia II. Beruntung bagi Jerman, karena intelektual masyakaratnya di atas rata-rata.

Tiga negara di atas pun memiliki ciri yang sama, kerusuhan yang salah satunya diakibatkan oleh ambisi kekuasaan yang mengerikan. Plus ciri-ciri tokoh utama yang nyaris sama.

Oposisi Honduras, Salvador Nasralla adalah politikus yang gagal dalam Pemilu tahun sebelumnya, pun Raila Odinga, yang kalah berkali-kali dalam Pemilu Kenya. Hitler pun setipe bahkan diatas mereka.
Indonesia bisa seperti itu? BISA.

Tapi, Indonesia tidak akan seperti itu, jika kita mengerti dan paham tipe-tipe pelaku haus kekuasaan. Seperti Nasralla dan Odinga, mereka tak pernah bosan mencalonkan diri menjadi Capres, meskipun gagal berkali-kali. Kedua, mereka punya bibit sifat dari Hitler, hobi melempar isu SARA dan suka propaganda ketakutan serta Hoax

Indonesia pernah memasuki masa kelam di tahun 1998 dan untuk itu, kita bertekad bahwa tidak akan ada lagi keresahan, kerusuhan dan kekacauan dalam Pemilu April 2019 nanti.

Kita tidak mau lagi mundur ke arah 98. Kita tidak mau Indonesia kembali hancur apabila sosok haus kuasa nekat memaksakan kehendaknya untuk menggulingkan atau tidak terima terhadap hasil Pemilu nanti.

Lawan hoax dan lawan ujaran kebencian!
Hoax atau berita palsu muncul dengan adanya sentimentil atas golongan atau pihak, terkait tindakan atau kebijakannya yang tidak sesuai dengan alur berpikir pihak oposisinya.

Hoax atau berita palsu mengikuti alur berpikir pembacanya yang kira-kira bisa menimbulkan efek sensitivitas yang meningkat entah itu kebencian atau semangat untuk mendukung paslon.

Fenomena ini, memang menggelembung pada Pilpres kali ini. Ditandai dengan kasus hoaks Ratna Sarumpaet – yang dikabarkan dipukuli sekelompok orang tak dikenal di Bandung padahal bengep karena operasi plastik di Jakarta – sampai kabar viral bahwa di Tanjungpriok masuk tujuh kontainer berisi @10 juta surat suara datang dari China yang sudah dicoblos di sisi salah satu paslon.
Belum lagi dengan entengnya masing-masing pihak menyebut pendukung lain sebagai goblok, dungu, pembohong, kapir.

Atau tidak mengapresiasi apa yang dilakukan pihak Capres satu yang telah membangun infrastruktur, di antaranya menyambungkan proyek jalan Tol Trans Jawa — dengan komentar suara emak-emak, “Kami Tidak Makan Infrastruktur”, “Buat Apa Membangun Tol tak Berguna dengan Utang” dan sebagainya.

Lengkap sudah, suasana kampanye Pilpres diwarnai dengan ujaran kebencian.
Indonesia harus dan wajib melaksanakan Pemilu damai

Para pendahulu kita, para patriot Indonesia di masa lalu sudah memberi contoh akan gelaran Pemilu Demokratis yang tercatat “paling demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia” yakni Pemilihan Umum 1955 untuk memilih anggota legislatif pertama sejak Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945.

Sejak pemilu pertama, Para pendahulu bangsa kita sudah memberi contoh demokratis dan aman pada 64 tahun silam, mosok di era Indonesia Modern kali ini kita mau melangsungkan Pilpres dalam suasana perang? Zero Sum Game? Yang menang berjaya atas yang lain, dan yang kalah kudu hancur?

Padahal, Capres Prabowo misalnya, sudah mencontohkan dalam debat kedua kemaren, bahwa dirinya mengakui yang baik, dan menerima yang sudah baik untuk diteruskan – meskipun ia katakan, ia akan memilih strategi berbeda jika terpilih jadi Presiden.

Atau ujara Capres petahana, Joko Widodo berkali-kali dalam kampanye – tak hanya selama Pilpres 2019, akan tetapi juga lima tahun silam di Pilpres 2014, bahwa “Pemilu dan Pilpres adalah sebuah pesta rakyat, yang digelar damai tanpa rasa ketakutan,” atau saling benci tentunya. Mengapa harus dibangkit-bangkitkan semangat perang, dan meruntuhkan satu pihak dengan yang lain?

Zaman sudah sedemikian maju, setelah 74 tahun merdeka. Serba terbuka, nyaris tanpa tedeng aling-aling informasi mengalir tersebar dengan cepat, serta merta dan meluas. Mengapa mesti ditarik kembali ke masa jahiliyah?

Pilihan memang tidak bisa dua untuk menduduki posisi Presiden. Tetapi setelah Pilpres yang kalah tentunya terus membawa rakyat yang mendukungnya untuk ikut membangun negeri. Bukan menghancurkan negeri dengan perang kebencian, perang narasi hoax, perang kepentingan yang tidak toleran.

Indonesia harus dan wajib melaksanakan Pemilu damai, saya dan kamu hanya bisa berusaha, semaksimal mungkin meskipun lewat tulisan. Percayalah, Indonesia selalu baik-baik saja.

Related Posts

Add New Playlist