Cedera Sosial Akibat Politisasi Masjid

Oleh : Andri Hermansyah ( Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Budaya )

Selama ini banyak masjid yang dijadikan ajang kampanye para politisi. Mereka seolah tak menganggap Mushala atau masjid sebagai rumah ibadah yang semestinya terbebas dari upaya politik praktis. Di Indonesia, masjid dan mushola berjumlah lebih dari satu juta, bangunan tersebut diperuntukka untuk umat Islam beribadah dan meningkatkan pengetahuan serta ketakwaannya. Lalu bila penggunaannya justru menyimpang dan menjadi sarana kepentingan politik praktis sebagai upaya merebut kekuasaan, maka hal tersebut haruslah dihindari, mengingat bahwa jamaah yang berada di masjid memiliki pandangan yang berbeda terhadap politik.

“Cara paling sederhana adalah dengan memilih tema – tema khutbah yang akan dibawakan oleh para penceramah. Setiap tema khutbah haruslah mengandung materi yang penuh cintan dan rahmatan lil alamin,” tutur Indra Harsono selaku Ketua DKM Masjid Cut Meutia.

Baca Juga

Apabila masih menemukan penceramah yang menyimpang dan membangun ujaran kebencian, pihaknya juga akan bersikap tegas dan mencoret penceramah tersebut di lingkingan Masjid Cut Meutia.

“Kami tidak memberi ampun bagi para penceramah yang menyimpang dan membangun opini kebencian, apalagi menyebar fitnah saat sedang berkhutbah. Sebagai sanksi bila ada yang melakukan hal tersebut, maka kami akan bersikap tegas dengan mencoret nama penceramah,” tukas Indra.

Memang tidak ada larangan dalam ajaran agama untuk menjadikan masjid sebagai tempat pendidikan politik masyarakat. Asalkan yang disampaikan itu merupakan nilai dan etika berpolitik. Seperti anjuran untuk saling menghormati perbedaan, persaudaraan (Ukhuwah), kasih sayang dan toleransi. Dengan kata lain pendidikan politik yang disampaikan adalah pendidikan politik kemuliaan bukan praktis atau kekuasaan. Sehingga yang menjadi larangan mutlak adalah ketika kegiatan politik praktis seperti kampanye atau mempengaruhi jamaah untuk memilih, menjelekkan hingga menyampaikan ujaran kebencian dan memfitnah serta melakukan provokasi untuk melawan pemerintahan yang sah.

Salah satu alasan kenapa masjid ataupun tempat ibadah harus dijauhkan dari aktifitas politik praktis adalah, dikarenakan kegiatan politik praktis kerap diwarnai dengan intri, fitnah dan adu domba. Pada hakikatnya tempat ibadah seperti masjid mer merupakan tempat bertemunya masyarakat dengan berbagai latar belakang sosial, budaya, politik dan faham keagamaan.

Juru Bicara PSI, Dedek Prayudi, menganggap bahwa politisasi agama justru menutup ruang politik gagasan, karena sudah semestinya dunia politik di negeri ini dipenuhi gagasan ide dan kreatifitas. Politisasi masjid hanya akan memperlebar disparitas dan melahirkan tensi antar masyarakat seperti di Timur Tengah. Politisasi masjid dilakukan oleh tokoh agama atau ulama Islam yang dianggap berpengaruh dalam masyarakat. Tokoh ini biasanya mempunyai pengikut tertentu yang cukup fanatik. Sehingga apapun yang dikatakan seperti sebuah perintah kepada pengikutnya. Sementara, di dalam sebuah masjid yang notabene tempat ibadah umat Islam tentu saja ada kelompok lain yang mungkin berseberangan.

Intelektual Muda NU Guntur Romli menyampaikan, bahwa politisasi masjid fengan ulama yang terlibat didalamnya merupakan alat manipulasi kekuasaan. Ulama diperalat untuk mendukung pihak tertentu, khususnya yang bertentangan dengan pemerintah. Hal itu akan membahayakan dan pasti akan memecah belah bangsa. KPU juga telah memiliki regulasi tertulis dalam UU Nomor 7 tahun 2017, disebutka bahwa kampanye tidak boleh dilakukan di masjid dan tempat – tempat pendidikan. Regulasi tersebut tentu diharapkan dapat menengahi semua konflik yang terjadi tentang politisasi masjid.

Penyebab merebaknya isu tentang politisi agama merupakan cerminan bahwa agama kian diseret jauh pada pilihan dan untuk menentukan pemimpin atas dasar golongan agama tertentu. Konflik horizontal kerap kali terjadi pada beberapa daerah. Ironinya pertimbangan memutuskan dan untuk menentukan pilihan pun mengarah pada latar belakang agama.

Kita tentu bisa berkaca pada pengalaman pilgub DKI Jakarta, dimana saat itu beberapa kelompok islam memanfaatkan isu tersebut untuk menyudutkan gubernur petahana saat itu, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang memiliki darah etnis China dan beragama Non-muslim. Hal ini tentu lebih berbahaya daripada politik uang, karena isu terkait agama akan sangat cepat menyebar dengan bantuan arus media seperti internet dan sosial media. Liarnya jempol para pengguna smartphone telah mampu menghanguskan sikap toleransi dalam waktu singkat.

 

 

 

Related Posts

Add New Playlist