Oleh : Yasin Nuruzzaman (Pengamat Sosial Politik)
Politisasi Agama memang racun dalam berdemokrasi, namun hal ini tak bisa dipungkiri bahwa model politik seperti inilah yang dinilai efektif untuk memenangkan seorang calon.
Penggunaan tempat ibadah dalam kampanye terbukti murah dan efisien. Hal ini dikarenakan sang pendamba suara tidak perlu menggiring massa pada suatu tempat.
kita masih ingat dengan gerakan sholat shubuh berjamaah yang marak digalakkan di berbagai kota di Indonesia, sekilas gerakan ini memang layak diapresiasi, karena sholat berjamaah di masjid merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, tetapi yang menjadi masalah adalah apabila setelah sholat shubuh dilaksanakan, dimana pengkhutbah atau pemberi kultum memberikan ceramah yang destruktif ataupun yag mengarahkan jamaah untuk memilih salah satu kandidat paslon.
Jika kita menilik pada sejarahnya, aktifitas di masjid tidak terbatas hanya untuk beribadah saja.
Baca Juga
Pada Zamah Rasulullah SAW sampai sekarang, masjid masih memegang problema keumatan dari berbagai dimensi. Peradaban muslim juga memiliki ketergantungan pada tempat peribadatan tersebut, dimana masjid menjadi sentral diskusi pemerintahan, strategi perang, musyawarah dan juga pendidikan.
Nabi Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai pusat kontrol pada masa kekhalifahannya. Berbagai macam musyawarah mufakat perihal keumatan dan kebangsaan dihasilkan dari perkumpulan jamaah yang ada di masjid. Karena begitu terbukanya, sampai – sampai masyarakat turut berperan dalam mengambil keputusan pemerintah.
Politisasi Masjid bukan berarti menyuarakan agar umat muslim menjauhi masjid, namun politisasi masjid harus ditolak jika dalam materi ceramah ataupun khutbah berisi materi tentang ujaran kebancian, atau ajakan untuk menjatuhkan partai politik yang lain.
Menjelang pesta demokrasi pada April mendatang, kita sebagai masyarakat tentu harus cerdas dalam membedakan antara politisasi untuk kepentingan seluruh umat atau politisasi untuk kepentingan golongannya sendiri.
Hal yang juga penting adalah upaya untuk membangun literasi politik masyarakat. Karena dengan literasi politik yang mumpuni, maka perlahan akan menggeser pembicaraan mengenai pro dan anti kubu – kubu tertentu menjadi pembicaraan yang membahas mengenai kebijakan publik.
Apabila masyarakat memiliki literasi politik yang baik, maka dengan sendirinya upaya fitnah dan black campaign akan sirna dari mimbar masjid. Pada akhirnya, masyarakat akan terfokus pada isu substansial mengenai apa yang bisa mereka peroleh sebagai warga negara.
Dalam hal ini, Elite politiklah yang sering kali mengaduk – aduk emosi rakyat pemilih melalui politisasi agama. Regulasi dengan definisi yang tegas tentang politisasi agama menjadi penting untuk membuat jera para elite yang tunamoral.
Masjid – masjid tentu bisa kehilangan kehangatannya apabila intrik politik telah masuk kedalam mimbar. Kesyahduan masjid akan hilang jika pengurusnya diisi oleh para broker kekuasaan.
Baik disengajan maupun karena ketidaktahuan.
Berbagai bentuk kampanye di masjid seperti pemasangan spanduk politik atau kampanye berbalut khotbah, maka hal tersebut adalah bentuk kudeta terhadap rumah Allah.
Masjid akan kehilangan keteduhannya jika isi khotbah dicampuri dengan penggiringan opini publik dan ujaran kebencian.
Jamaah pulang dari masjid membawa hati yang mengeras. Bathinnya menjadi kosong, hanya dahinya yang gosong.
Mungkin masih ada yang bertanya kenapa masjid menjadi sasaran untuk kegiatan politis. Hal ini telah dijabarkan oleh Reza Aslan selaku pengamat keagamaan.
Dirinya menuturkan meski sosial media memiliki peran dalam mengorganisasi massa. Namun kemampuannya tak lebih hebat dari jaringan sosial yang terbangun dari kegiatan di masjid.
Politisasi Masjid bukan berarti menyuarakan agar umat muslim menjauhi masjid, namun politisasi masjid harus ditolak jika dalam materi ceramah ataupun khutbah berisi materi tentang ujaran kebancian, atau ajakan untuk menjatuhkan partai politik yang lain.
Politisasi masjid memang bukan sesuatu yang tabu, sejarah memberikan catatan bahwa sesuatu yang mengandung unsur politis berangkat dari tempat ibadah tersebut.
Namun tentu ada perbedaan yang mendasar. Dimana pada era Nabi kepentingan masyarakat luas lebih dominan untuk dibahas daripada kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Itulah perbedaan politisasi masjid pada zaman Nabi dengan zaman sekarang.
Akan menjadi masalah jika tujuan politis yang digadang oleh gerakan politik tersebut adalah kekuasaan politik, mencaci wibawa hukum negara, menjatuhkan pemerintahan, ujaran untuk menolak ideologi pancasila, mengganti konstitusi negara atau memaksakan kebenaran atas nama kelompok untuk memberikan provokasi pada kelompok lain. Jika hal ini terjadi, maka penegak hukum jelas berwenang untuk memberikan tindakan tegas.
Para elite politik mestinya telah memahami kaidah hukum yang mewajibkan untuk menghindari kemudharatan dalam berdakwah. Meski Nabi dan para sahabat berbicara tentang politik di masjid, namun mereka tidak menjadikannya sebagai tempat untuk ajang kampanye.
Politisasi masjid nyatanya memiliki kegunaan tersendiri bagi oknum pelaku pemilu, yaitu untuk meraup suara hingga menjatuhkan lawan politiknya melalui doktrin yang destruktif.