Dampak Baik untuk Petani Banyumas Saat Dollar Menguat

JAKARTA, KataIndonesia.com – Bagi petani, kemarau berarti dua hal, kekeringan dan musim tanpa tanam padi. Petani bijak biasa menanam palawija, seperti kacang ijo dan kedelai, untuk menggu masa tanam berikut pada musim penghujan mendatang.

Alasannya tentu karena ketersediaan air terbatas. Kedua, untuk memutus siklus hama. Tanaman sela memastikan perkembangbiakan organisme pengganggu tanaman atau OPT terhenti.

Panen raya masa tanam kedua di Banyumas, Jawa Tengah terjadi pada Juli lalu. Itu artinya, kedelai dan palawija lainnya telah berumur dua bulan lebih. Ini artinya, sebentar lagi mereka panen.

Baca Juga

Kabar baiknya, kini harga kedelai impor di pasaran terus merangkak naik seiring laju Dollar yang semakin tinggi. Kenaikannya cukup besar dari harga semula yang hanya kisaran Rp 6.000 hingga Rp 6.400 per kilogram.

Kepala Bulog Sub-Divre IV wilayah Banyumas Sony Supriyadi mengatakan saat ini harga kedelai impor berada di kisaran Rp 7.400 hingga Rp 8.500 per kilogram, atau naik antara Rp 1.000 – Rp 2.000 per kilogram dari harga pasaran normal sebelumnya.

Naiknya harga kedelai impor juga terjadi pada kedelai lokal. Bahkan, harga kedelai lokal lebih tinggi, yakni Rp 8.500 hingga Rp 10 ribu, atau lebih mahal kisaran Rp 1.500 per kilogram dibanding harga kedelai impor.

Kualitas kedelai lokal memang lebih baik. Pati atau rendemen tepung kedelai lokal lebih tinggi. Kualitasnya pun biasanya lebih baik, lantaran baru dipanen sehingga tingkat kerusakannya minim.

Ini berbeda dengan kedelai impor yang telah berbulan lalu dipanen dan baru tiba di Indonesia. Belum lagi, risiko kerusakan akibat pengiriman dan penyimpanannya yang tak sesuai standar.

“Kalau yang kedelai IDN (Indonesia) malah lebih mahal. Karena lebih fresh,” dia menjelaskan, Senin, 10 September 2018.

Kualitas Lebih Baik, Kenapa Pengrajin Tahu Tak Gunakan Kedelai Lokal?

Sony menyarankan agar petani memanfaatkan naiknya harga kedelai ini. Mempertimbangkan nilai ekonomisnya yang tinggi, komoditas kedelai berpotensi menambah penghasilan petani di musim kemarau. Ketersediaan kedelai lokal pun lebih banyak dan tidak hanya mengandalkan impor.

Lantas, jika kedelai lokal lebih berkualitas, kenapa pengrajin lebih mengandalkan kedelai impor?

Seorang pengrajin tahu di Kalisari Kecamatan Cilongok, Banyumas, Puji berujar pengrajin tahu bukannya tak mau menggunakan kedelai lokal. Ketersediaan kedelai lokal lah yang selalu menjadi masalah.

Dia pun mengakui, sebenarnya kedelai lokal kualitasnya lebih bagus dari kedelai impor asal Amerika. Namun, ketersediaannya di pasaran sangat minim. Kedelai hanya tersedia saat musim kemarau. Itu pun dengan jumlah terbatas.

“Kedelai lokal sudah mencoba, tapi kedelai lokal tidak mencukupi. Kalau ada paling pas musim kemarau, baru ada petani yang menanam, tapi habis,” dia menerangkan.

Untuk mengantisipasi harga kedelai yang terus naik Puji pun terpaksa memperkecil ukuran tahu. Jika sebelumnya berjumlah 111-113 biji per nampan cetakan, kini jumlah potongan dibuat lebih banyak, yakni menjadi 130-140 biji per cetakan.

Dalam kesempatan berbeda, Kepala Desa Kalisari Azis Samsuri mengatakan di desa Kalisari ada sekitar 260-an pengrajin tahu. Kebutuhan kedelai berkisar 10-15 ton per hari.

Dari para pengrajin tahu, lahir tahu-tahu berkualitas dengan beragam bentuk, mulai dari bentuk mainstream kotak, segitiga, hingga bulat. Bahkan, ada pula tahu bulat mini Kalisari yang hanya seukuran kelereng.

“Ada rasa, pedas, manis, asin. Itu bentuk kreativitas pengrajin untuk membuka pangsa pasar baru,” dia menerangkan.

Pantauan kataindonesiacom, di luar harga kedelai, harga bahan pokok lainnya cenderung stabil, meski Dollar Amerika nyaris menyentuh Rp 15 ribu. Beras kualitas medium jenis IR-64 misalnya, berharga sekitar Rp 9.400 per kilogram. Adapun gula dipatok dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 12.500 per kilogram.

 

LAPORAN: FAJRIN HAKIM

Related Posts

Add New Playlist